Friday, June 22, 2007

Kajian Utan Kayu dari Jawa pos

Jumat, 25 Mei 2007,
Politisi Islam Belajarlah dari Jerman

Ahmad Norma Permata:

Indonesia dan negara muslim lain masih mencari sintesis antara Islam dan demokrasi. Akankah itu terjadi? Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Radio 68H, Jakarta, dengan Ahmad Norma Permata, mahasiswa S-3 Ilmu Politik di Universitas Muncster, Jerman, Kamis (17/5) lalu.
----------

Apa yang menarik dari studi Islam di Jerman?
Yang menarik adalah soal posisi Jerman yang unik dalam hubungannya dengan dunia Islam. Jerman adalah satu-satunya negara besar Barat yang tidak pernah punya sejarah konflik dengan dunia Islam.

Sejak masa pra-kolonialisme pun, Jerman tak punya sejarah konflik dengan Islam. Itu yang membuat hubungan Jerman dengan dunia Islam tampak biasa-biasa saja. Intens tidak, tegang juga tidak.

Kajian-kajian keislaman di Jerman juga berbeda dengan negara-negara yang pernah punya sejarah konflik dengan Islam. Prancis atau Belanda selalu dianggap punya kepentingan politis dalam mengkaji Islam karena mereka pernah berkuasa di beberapa dunia Islam. Amerika pun kini punya kebutuhan politis untuk menyelesaikan persoalan mereka dengan Islam. Nah, Jerman tidak punya persoalan langsung.

Karena eksepsi Jerman itulah orang mengkritik Edwar Said yang menuduh orientalisme Barat menumpang kolonialisme, ya?
Barangkali betul. Meski pada aspek tertentu, seperti dalam aktivisme gereja, para intelektual Jerman juga banyak yang terlibat, seperti Martin Kraemer. Dan sampai sekarang, profesor-profesor gereja juga masih banyak yang melakukan kajian-kajian keislaman.

Tentu ada kaitannya dengan kepentingan gereja. Meski begitu, saya melihat kajian Islam intelektual Barat yang dekat dengan gereja masih jauh lebih ilmiah ketimbang intelektual politik.

Bisa disebutkan beberapa sentra kajian keislaman di Jerman?
Sulit bicara tentang Islam sebagai entitas tunggal. Kalau kajian Turki, baik tentang agama maupun budayanya, saya kira di Jerman banyak. Jadi, kajian Islam masuk dalam kajian wilayah.

Tapi, ada juga kajian tersendiri tentang Arab. Biasanya, kajian keislaman masuk dalam departemen bahasa. Nah, yang punya tradisi kajian keislaman cukup baik selama ini adalah Universitas Hamburg.

Berapa banyak mahasiswa Indonesia yang belajar Islam di Jerman?
Mahasiswa Indonesia ribuan. Sebab, biaya kuliah di Jerman sangat murah. Orang tua-orang tua yang tak terlalu kaya biasanya memilih menguliahkan anaknya di Jerman. SPP saya yang S-3 saja hanya sekitar 150 euro atau kurang dari dua juta rupiah. Itu yang membuat banyak mahasiswa Indonesia tertarik kuliah di sana.

Tapi, kebanyakan mengambil jurusan ilmu alam dan ilmu murni. Yang di ilmu sosial tak banyak, apalagi jurusan agama. Namun, di jurusan teologi lumayan banyak, seperti teologi Katolik dan Protestan.

Apakah komunitas Islam Jerman mengorganisasikan kajian-kajian keislaman juga?
Komunitas muslim yang terbanyak adalah Turki. Sekitar 3 juta orang Turki ada di Jerman. Mereka punya komunitas sendiri. Sayang -dan ini yang sering dikeluhkan masyarakat atau pemerintah Jerman- hampir dua atau tiga generasi setelah Perang Dunia II, mereka belum sepenuhnya menyatu dengan masyarakat Jerman. Mereka masih suka pakai bahasa Turki dalam komunikasi sehari-hari.

Karena itu, belakangan ada program training bagi imam-imam masjid Turki agar mahir berbahasa Jerman. Selama ini, sebagian besar imam didatangkan langsung dari Turki. Saya sering ikut Jumatan, tapi sayang khotbahnya pakai bahasa Turki.

Selain Turki, ada juga komunitas Arab. Biasanya, komunitas Islam non-Turki dan non-Arab lebih memilih ikut komunitas Arab. Sebab, komunitas Turki lebih eksklusif dan memang lebih cenderung mapan.

Kabarnya, mereka sering jadi bahan guyonan?
Ya. Terutama di acara-acara komedi televisi Jerman. Mungkin, ada semacam rasa tidak suka kepada orang Turki. Nah, kajian-kajian sistematis tentang Islam itu kurang tampak. Orang Turki di Jerman lebih protektif. Bahkan, ada yang bilang, orang Islam Turki Jerman itu lebih konservatif dibanding orang Turki yang di Turki sendiri.

Di Amerika, banyak pemikir progresif Islam. Selain Bassam Tibi, siapa pemikir progresif Islam Jerman?
Kalau kita buka website Bassam Tibi, akan tampak bahwa dia juga tidak leluasa untuk berpikir karena tidak terlalu diterima oleh lingkungannya. Tapi, Tibi cukup produktif. Memang perlu dianalisis secara sosiologi-politik, mengapa intelektual muslim di Jerman "hangat-hangat tahi ayam" dalam urusan kajian keislaman.

Saya kira, soalnya karena itu tadi; tidak adanya benturan politis atau konflik riil yang membuat mereka harus giat mengatasi persoalan. Persoalan mungkin hanya terjadi dalam pola hubungan rakyat Jerman dengan warga Turki.

Tetapi, tulisan Bassam Tibi menarik kan?
Betul. Tulisan-tulisan dia tentang Islam sangat menarik. Dia ilmuwan politik internasional. Tapi, dia fasih menggunakan sudut pandang antropologi, seperti teori Clifford Geertz tentang agama sebagai sistem budaya. (novriantoni)

No comments: