Friday, June 22, 2007

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 20 Apr 2007,
Kontroversi dalam Suasana Paskah

Kontroversi penemuan "makam" Yesus mengusik perayaan Paskah tahun ini. Berikut tanggapan Pdt. Martin Lukito Sinaga, dosen di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) Kamis lalu (12/4), di Kantor Berita Radio (KBR) 68H Jakarta.



Pada Paskah tahun ini, umat Kristen dihebohkan oleh kontroversi penemuan "makam Yesus" lewat buku James D. Tabor berjudul The Jesus Dynasty. Apa komentar Anda?

Ini soal yang tidak mudah. Tapi, saya ingin sedikit mundur ke belakang. Setahun terakhir, kekristenan sudah dirundung rasa bingung oleh The Da Vinci Code -novel yang sangat laku dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Sekarang, menjelang Paskah, kita dikejutkan lagi oleh buku James D. Tabor, Ketua jurusan keagamaan Universitas North Carolina di Charlotte, AS, dan tulisan Pdt. Ioanes Rakhmat mengenai kontroversi penemuan makam keluarga Yesus itu. Di kotak makam Talpiot itu dikatakan terdapat tulang-belulang yang menurut penulisnya menunjuk ke tulang Yesus dan trahnya.

Di lingkungan jemaat Kristen, kontroversi ini tentu menimbulkan kebingungan dan pertanyaan. Ini tecermin pada banyaknya pesan pendek (SMS) yang saya terima dari GPIB, GKI, dan gereja saya sendiri. Mereka bertanya: Apa maksudnya? Mana yang benar? Setiap Minggu, kita di gereja mengatakan "aku percaya pada kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, dan aku percaya pada kebangkitan daging".


Jadi, bukan hanya kebangkitan rohani, tapi ragawi juga?

Ya, bukan sekadar roh, tapi Credo in Carnis Resurectionem (doktrin kebangkitan daging). Jadi, buku dan tulisan itu menohok dan mengagetkan. Mengagetkan karena memang jemaat sama sekali tak mengerti, baik duduk perkara tulisan Ioanes Rakhmat itu maupun temuan para ahli yang sebenarnya masih kontroversial itu.

Ketika jemaat ingin lebih spiritualistis menghayati Paskah, tiba-tiba mereka menerima data-data kontroversial. Dan lembaga STT (Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta) tempat saya mengajar, dipertanyakan; masak mendidik mahasiswanya dengan dosen yang mengajarkan hal seperti ini. Bahkan, ada yang mengatakan, "Sudahlah, tidak usah menyekolahkan anak ke situ lagi!"


Apakah umat Kristen tak bisa menghayati Paskah dengan paham bahwa yang bangkit itu hanya rohnya Yesus, bukan sekaligus daging-Nya?

Mengenai Yesus sendiri, dalam Alkitab dikatakan bahwa ketika bangkit, Ia justru menampakkan diri-Nya kepada orang-orang. Bahkan, Ia meminta Thomas untuk memasukkan tangannya di lubang bekas paku yang dialaminya ketika disalib.

Lalu Yesus makan bersama mereka setelah Dia bangkit. Jadi, ada momen yang lebih dari sekadar hal subjektif. Ada momen penampakan. Dan penampakan ini lebih dari sekadar soal spiritualitas. Ini sesuatu yang total. Ini terkait dengan kehadiran.


Tapi kalangan peneliti Yesus sejarah ingin merasionalisasi makna kebangkitan itu. Temuan mereka ini, kalau terbukti benar, mengonfirmasi bahwa kebangkitan itu bersifat metaforis saja. Tanggapan Anda?

Ya, itu memang pendapat para scholar atau para sarjana Yesus sejarah. Tapi kalau kita amati perjalanan keilmuan Yesus sejarah, kita tahu bahwa buku Tabor ini justru memberikan ucapan selamat kepada Albert Schweitzer (1875-1965), seorang ahli Yesus sejarah. Nah, selama ratusan tahun mereka sudah berupaya menemukan siapa Yesus sebenarnya.

Bagi para ahli pencerahan, Yesus itu tak mungkin punya mukjizat. Bagi para ahli teologi pembebasan, Yesus itu adalah Che Guevara; Yesus seorang Marxis. Ketika penelitinya seorang Amerika yang berangkat dari kelas menengah borjuis, ia menyimpulkan bahwa Sang Yesus adalah sang bijak sebagaimana Buddha yang senantiasa memberikan ceramah-ceramah pencerahan batin.


Anda ingin mengatakan bahwa para peneliti itu sembrono menjustifikasi hipotesis mereka?

Kalau kita lihat sejarah hampir dua ratus tahun penelitian Yesus sejarah, tampaknya seperti itu. Para ahli pencerahan yang tidak percaya mukjizat membuktikan bahwa memang benar mukjizat itu tidak ada.

Lalu, orang Amerika yang borjuis mengatakan bahwa Yesus adalah seorang bijak seperti Sang Buddha. Itu karena kebetulan mereka lagi gandrung dengan Buddhisme.

Nah, temuan itu semua adalah gejala-gejala yang mestinya membuat kita harus lebih arif untuk mengatakan bahwa "penemuan-penemuan" tentang Yesus itu adalah spekulatif. Injil memang bukan tulisan sejarah.

Karena itu, ketika orang akan menembus di belakang Injil, maka akan terjadi loncatan-loncatan hipotesis. Nah, hipotesis-hipotesis itu bercorak sangat kontekstual. Jadi, hipotesis itu terkait dengan latar belakang budaya dan sebagainya.


Bukankah yang memahami Yesus bangkit secara faktual ke langit yang justru memaksakan literalisme kitab suci dan menjadikannya sebagai fakta sejarah, berkebalikan dengan para peneliti Yesus sejarah itu?

Saya kira, argumen Anda ada benarnya. Tapi seharusnya para arkeolog itu juga mesti lebih rendah hati dengan mengatakan "tidak tahu" daripada menambah spekulasi dengan mengatakan bahwa Yesus adalah orang yang ingin mendirikan kerajaan seperti Daud. Kan begitu alur buku Tabor! Menurut dia, Yesus adalah orang yang ingin mendirikan dinasti dan punya istri. Dari mana data itu ia dapat selain hipotesis?

Misalnya, dalam buku Tabor dikatakan telah ditemukan kotak kuburan bernama Yesus; lalu ada Yakobus. Lalu ada kotak lain lagi yang berisi kain kafan. Lalu ada Maria. Kemudian, kata Tabor, itu semua dicuri. Harusnya, semua ada dalam satu kotak. Lho, tahu dari mana dia kalau itu harusnya satu kotak? Jadi itu hipotesa saja.

Dan masalah ini sempat masuk ke pengadilan Israel. Yang punya kotak adalah pedagang barang antik yang memalsukan tulisan dan divonis bersalah. Lalu dia naik banding dan menganjurkan perlunya tes DNA. Wah, sekarang tes DNA kasus Munir saja kesulitan, apalagi kasus Yesus.

Karena itu, baiklah ini menjadi percakapan para akademisi di ruang terbatas para spesialis; tidak perlu dijadikan konsumsi publik. Untuk sampai pada kesimpulan seperti ini, publik gereja membutuhkan perjalanan keilmuan yang panjang sekali.


Apakah mengisolasi pandangan baru itu dimungkinkan di abad teknologi informasi ini? Mengapa mereka tak boleh mengumumkan "penemuannya"?

Masalahnya, ketika koran mengutarakan tema-tema spesial akademisi yang kontroversial dan debatable, pembacanya yang sebagian adalah warga gereja itu maunya headline saja. Akibatnya, mereka langsung pada kesimpulan: what’s wrong with our faith? what’s wrong with STT, sebuah institusi yang mendidik orang seperti itu?!


Apa dampak penemuan yang memang belum pasti kebenarannya itu terhadap doktrin kekristenan selama ini?

Daripada kita berspekulasi, mungkin mendingan saya meminjam istilah seorang pemikir besar, Rudolf Bultmann. Dia orang yang konsisten menemukan Yesus dan mengatakan bahwa dia tak menemukan apa-apa dari orang ini selain soal orang yang disalibkan, lalu mengajarkan kerajaan Allah. Dia mengatakan, orang akan sampai kepada iman bukan karena sesuatu yang historis.

Dan Tabor pun sebetulnya ingin mengatakan bahwa kita harus membedakan antara studi historis dan studi teologis. Dengan itu, masalah penemuan historis ini tak terlalu perlu dipusingkan walau kadang ada kaitannya ketika iman Kristiani ingin didefinisikan.(novriantoni)

No comments: