Friday, June 22, 2007

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 06 Apr 2007,
Maulid Nabi Bersama Watt

Pembaca buku-buku keislaman di Indonesia perlu berbahagia dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW beberapa hari yang lewat. Tahun ini, ada "kado istimewa" yang patut disambut khalayak pembaca Islam. Buku memikat tentang perikehidupan Nabi, Muhammad: Nabi dan Negarawan, karya W. Montgomery Watt, baru terbit dalam bahasa Indonesia.

Buku tersebut merupakan ringkasan dua buku Watt sebelumnya, yaitu Muhammad at Mecca (1953) dan Muhammad at Medina (1956). Buku yang aslinya berjudul Muhammad: Prophet and Stateman (1961) itu diterjemahkan cukup baik oleh salah seorang intelektual Indonesia, Djohan Effendi.

Penulisnya memang seorang orientalis yang sering dijuluki the last orientalist. Tapi, nada umum uraiannya tentang sejarah Nabi bernada sangat simpatik. Maklum, Watt memang mengabdikan hampir seluruh karir akademiknya untuk menjembatani dialog Islam dengan Kristen, bahkan Islam dengan dunia Barat.

Buku itu ikut menambah koleksi buku terjemahan tentang sejarah Nabi yang ditulis sarjana Barat, selain buku Karen Armstrong yang telah terbit beberapa tahun sebelumnya, Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis.

Perbedaannya, Armstong tampak ingin lebih menyelami pergulatan batin Nabi -dan karena itu dia juga memasukkan legenda-legenda yang dalam timbangan sejarah agak meragukan-, sedangkan Watt lebih ketat menapis mana yang fakta dan mana yang legenda. Kalaupun sebuah legenda dimuat, dia segera memberi catatan. Karena itu, buku Watt terkesan "lebih kering"dibandingkan buku Armstrong.

Namun, jangan khawatir. Sebab, seluruh isi buku Watt juga sedang berkisah. Lewat buku tersebut, tanpa sadar kita sedang dibawa Watt untuk mengarungi situasi pada zaman Nabi dengan segenap persoalannya.

Kita diajak menyelami kepribadian Nabi, watak dan perawakannya, kegundahan dan pengendaliannya, diplomasi dan kebijakannya, serta kedudukan dan kepemimpinannya. Pendeknya, buku itu memberikan banyak pencerahan.

Jika memakai kategori intelektual Maroko, M. Abied al-Jabiri, tentang pentingnya mempertimbangkan unsur aqîdah (ideologi), qabîlah (solidaritas sosial), dan ghanîmah (insentif ekonomi), sebagai kerangka penulisan sejarah Islam, tampaknya, Watt sudah menerapkan hal itu secara cerdas dan berhasil.

Faktor aqîdah bisa ditelusuri dari pergulatan batin Nabi dan kehadiran wahyu yang menyertai perjalannya dalam memperjuangkan Islam. Faktor qabilah tampak jelas pada uraian Watt yang sangat memikat tentang konstelasi kesukuan dan puak-puak di Makkah maupun Madinah zaman Nabi.

Sementara itu, faktor ghanîmah tampak pada beberapa penjelasan Watt soal insentif ekonomi yang diharapkan sebagian penganut Islam belakangan jika menganut Islam dan berpihak kepada masyarakat baru yang sedang dibentuk Nabi dengan penuh risiko serta rintangan.

Setelah menguraikan perikehidupan Nabi secara apik dan dengan kronologi peristiwa yang teratur, Watt menyimpulkan, "Ketika Muhammad wafat, negara yang didirikannya sudah seperti perusahaan yang sedang berjalan dan mampu menahan kejutan kepergiannya. Dan, begitu sembuh dari keterkejutan itu, ia meluas dengan kecepatan yang luar biasa (hal 327)."

Untuk mengantisipasi agar bukunya tak dijadikan bahan taklid buta oleh sebagian kaum Muslimin, Watt juga berpesan dengan sebuah pertanyaan: "Mampukah (muslim masa kini) menyaring segi-segi yang universal dari segi-segi yang partikular dalam kehidupan Muhammad, dan dengan demikian membuka prinsip-prinsip moral yang dapat memberi sumbangan kreatif terhadap situasi dunia saat ini?" (hal 324).

Ya, mungkin itulah yang dibutuhkan umat Islam masa kini. Inti agenda kita adalah: bagaimana menjadikan Nabi sebagai teladan, terutama pada aspek-aspek yang universal dan eternal dari ajarannya yang agung, sembari menafsirkan ulang aspek-aspek yang partikular dan situasional pada masanya.

Itulah pergulatan banyak ulama sejak dulu, sehingga Islam layak menjadi rahmat bagi semesta alam dan relevan untuk semua tempat dan semua zaman. (novriantoni)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 06 Apr 2007,
Negara Islam Belum Memikat

Sarjono Kartosuwiryo

Pada 1950-1960-an, hanya seperseribu rakyat Indonesia yang menerima gagasan negara Islam. Kini lebih kecil lagi: satu per dua atau tiga ribu. Demikian Sarjono Kartosuwiryo, anak kandung SM Kartosuwiryo (pendiri DI/TII), yang kini bergiat di Forum Silaturahmi Anak Bangsa kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) Kamis lalu (29 Maret) di Radio 68H Jakarta.
--------------

Beberapa waktu lalu ada sekelompok orang yang mengatasnamakan NII, yang meminta sumbangan dan melakukan beberapa penjarahan di Jawa Barat. Sebagai anak kandung almarhum SM Kartosuwiryo, pendiri DI/TII, apa tanggapan Anda?
Pertama-tama saya kaget juga ketika ada gerakan yang menamakan diri sebagai gerakan Negara Islam Indonesia (NII) sampai saat ini. Saya bertanya kepada diri sendiri, apa mungkin negara Islam dibangun di Indonesia dalam keadaan seperti ini? Sepanjang perhitungan saya dan pertimbangan akal sehat manusia, itu tak mungkin, kecuali hanya untuk menjual isu belaka.

Pada beberapa siaran media massa, saya tercengang karena ada yang menghubung-hubungkan gerakan ini dengan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) SM Kartosuwiryo. Padahal, yang namanya DI/TII Kartosuwiryo itu selesai sejak 1962.

Setelah itu, tak ada lagi gerakan yang menamakan DI/TII, baik di siaran pers maupun di tempat mana pun. Yang ada adalah gerakan sekelompok orang yang menamakan diri NII. Lalu, NII ini, terutama yang KW-IX di daerah Jakarta, mengadakan tindakan-tindakan yang abnormal, seperti tindak-tindak kriminal.

Ada berapa KW di NII saat ini?
Yang saya tahu ada sembilan. KW-I di Priangan Timur, KW-II di Jawa Tengah, KW-III di Jawa Timur, KW-IV di Sulawesi, KW-V di Aceh, KW-VI di Sumatera selain Aceh, KW-VII di Garut dan Bandung, KW-VIII di Kalimantan, dan KW-IX di Jakarta.

Nah, sampai kini gerakan ini masih hidup, independen, dan terlepas dari induknya. Dan, di antara orang-orang yang aktif di KW-IX tidak ada satu pun anak Kartosuwiryo, ataupun bekas anak buahnya. Semua adalah orang-orang baru yang mengambil isu Negara Islam Indonesia supaya produknya bisa dijual.

Sepertinya ada keterputusan ideologis antara Anda dan almarhum ayah Anda. Apa bisa disebut Anda bukan anak ideologisnya?
Bagi saya, Islam itu berasal pada suatu keinginan hidup yang mendambakan keselamatan di dunia dan di akhirat. Itulah yang selalu didengungkan para mubalig. Itu sudah merupakan cita-cita umum umat Islam. Kita ini selalu mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Nah, Kartosuwiryo ini memodifikasi model mencapai kebahagiaan itu. Dalam perjalanan hidupnya, dia memulai karir di Serikat Dagang Islam (SDI), lalu di Serikat Islam (SI), di Partai Islam Indonesia (PII), ke Masyumi, sampai kemudian mendirikan DI/TII.

Itu semua dia lakukan untuk mengangkat Islam dan bangsa Indonesia dari kondisi keterpurukan penjajahan menjadi bangsa yang terhormat di mata dunia. Tapi, sayang, pada 1962, para pengikutnya di seluruh wilayah Indonesia baru berjumlah 40 ribu dari total jumlah penduduk Indonesia yang sudah berjumlah 40 juta saat itu. Jadi, rasionya satu berbanding seribu. Itu suatu kepemimpinan yang tidak mungkin.

Akhirnya, gerakan itu berakhir pada 1962 dengan keluarnya Maklumat Imam yang menyerukan untuk mengakhiri tembak-menembak dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Ketika itu, usia saya baru lima tahun. Dan, saya dibesarkan sudah di daerah ini, di negeri ini, ketika bapak saya meninggal.

Jadi, ada modifikasi?
Ya, ada modifikasi dalam sejarah hidup Kartosuwiryo. Awalnya dia masuk di SDI, lalu SI, lalu PII. Akhirnya, dia membentuk DI/TII. Jadi, ada perkembangan mental dan keorganisasian sesuai dengan kondisinya saat itu. Begitu juga saya. Saya harus berkembang mengikuti kondisi masyarakat saat ini. Jadi, saya tetap harus bergumul dengan kondisi saat ini. Kalau tidak bergumul, perjuangan saya bisa mati.

Kita tahu, dulu ayah Anda membuat konstitusi Darul Islam yang bersifat eksklusif. Salah satu butirnya mengatakan bahwa pemimpin negara wajib Islam dan menteri-menterinya juga wajib Islam semua. Kalau dievaluasi, apakah pemikiran seperti itu perlu?
Inti pertanyaan Anda adalah: mungkin nggak saya menarik model tahun 1962 itu ke model tahun 2007, sampai ke depan? Nah, model ini sudah saya jelaskan dari awal; hanya seperseribu rakyat Indonesia yang menerimanya. Sisanya belum menerima.

Ketika itu saja, pemasarannya sudah begitu. Apalagi sekarang; angkanya pasti lebih kecil. Mungkin sudah menjadi satu per dua ribu atau satu per tiga ribu. Jadi, sesuatu yang tidak mungkin kalau kondisi masyarakat Indonesia seperti ini.

Apa itu berarti masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ingin ber-Islam secara kultural saja tanpa memaksakan ideologi Islam pada aspek kenegaraan?
Ya. Islam Indonesia itu kan Islam yang sangat awam. Orang mengartikan Islam itu hanya di KTP (kartu tanda penduduk). Memang, ada kelompok tertentu yang mempelajari Islam lebih dalam. Tapi, mayoritas umat Islam itu hanya KTP. Dan, karena itu, tidak mungkin dibangun suatu Negara Islam di atas masyarakat seperti itu.

Apakah suatu saat perlu dibangun Negara Islam di Indonesia?
Itu sama dengan pertanyaan: seandainya saat ini adalah kerajaan dinosaurus, kemudian dua ribu tahun lagi ada kerajaan kera, apakah mungkin dibangun negeri kera? Wah, itu tidak bisa saya jawab. Suatu masa yang berbeda itu tidak bisa diandai-andaikan.

Pernahkan Anda bersentuhan langsung dengan orang-orang yang masih berpikir perlunya Negara Islam Indonesia?
O, banyak. Jadi, memang mereka berpikiran ideal. Artinya, untuk mengangkat nilai-nilai Islam supaya Islam bermarwah, orang Islam diharuskan untuk mendirikan negara Islam. Mereka berpikir, kalau orangnya Islam, negara idealnya harus Islam. Itu bukan berarti bentuk negara lain tidak bisa, bisa saja, tapi itu tidak dianggap ideal.

Aspek-aspek apa yang membuat negara Islam itu mereka anggap ideal?
Yang jelas, adanya kontrol. Dalam negara kita sekarang, tidak ada kontrol dari Tuhan. Di negara Islam, setiap individu setiap hari dikontrol oleh Tuhan. Dengan begitu, dia tidak berani untuk melanggar walaupun pimpinannya tidak ada.

Saat ini asumsi seperti itu kan dianggap naïf. Setiap kekuasaan diandaikan punya potensi untuk korup. Makanya diadakan institusi pengontrol pemerintahan, seperti DPR dan Mahkamah Konstitusi.

Apakah gagasan seperti itu tidak menarik bagi yang memperjuangkan negara Islam?
Menarik atau tidak, itu bergantung pada konteks orangnya. Kalau melihat dari jumlah orang yang setuju daripada yang tidak setuju negara Islam, sekarang (yang setuju) memang masih sangat kecil, yaitu di bawah 10 persen.

Jadi, gagasan negara Islam belum menarik atau belum memikat?
Ya. Sebab, tidak ada bukti yang nyata bahwa negara Islam mampu memberikan jawaban atas tuntutan-tuntutan masyarakat. Ketika suatu masyarakat berpikir terhadap negara Islam, mestinya dia minta tuntutan, dong! Saya mau sekolah, tapi sekolah di mana? Saya mau kerja, tapi kerja di mana? Kalau itu tidak bisa dijawab, (gagasan itu) akan ditinggalkan.

Berarti ada aspek praktis yang juga harus ditanggulangi oleh para ideolog negara Islam sekalipun?
Ya. Dalam tataran tekstual, memang itu (negara Islam) sesuatu yang ideal. Tapi, itu tidak bisa diterapkan dalam masyarakat yang tidak ideal. Kemiskinan dan kebodohan itu harus dilepaskan dulu. Jadi, masyarakat harus dipintarkan dulu biar tidak bodoh lagi, biar tidak miskin. Orang yang miskin itu tidak peduli terhadap negara Islam atau tidak.

Apakah saat ini Anda punya ideologi yang berseberangan dengan almarhum ayah Anda?
Masalah ideologi itu kan rumusan tentang suatu cita-cita. Kita pengin begini, mimpi begini. Saya rasa, saya tidak pernah berseberangan dengan bapak saya. Jangankan dengan bapak saya, dengan seluruh umat Islam di dunia juga saya tidak pernah bisa berseberangan. Saya hanya menginginkan keselamatan di dunia dan di akhirat.

Problemnya, ada beberapa paket untuk selamat dunia-akhirat. Yang minimal adalah paket menjalankan segenap rukun dan ajaran Islam, tanpa harus diurus negara sekalipun. Tapi, ada juga yang ingin paket maksimal atau kaffah.

Paket mana yang Anda pikirkan?
Paket saya adalah paket yang minimal tapi kaffah. Ketika semua persyaratannya sudah kaffah, suatu dosa kalau kita tidak melakukannya. Ketika kita sudah punya waktu, ketika sudah mengambil wudu, tapi tidak melakukan salat, itu adalah suatu dosa. Begitu juga dengan yang lain-lain.

Tapi, contoh salat itu kan sederhana. Tanpa diurus negara, kita bisa salat di mana pun, bisa wudu di mana pun; yang penting ada airnya. Dan, kalau tidak ada air pun, kita bisa tayamum.... (novriantoni)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 13 Apr 2007,
Hengkang dari Ideologis Fasis

Banting setir ideologi dapat saja terjadi pada kelompok radikal agama bila orangnya giat melakukan refleksi kritis atas kiprah mereka. Itulah pengalaman Mariana Amiruddin, redaktur Jurnal Perempuan, yang dituturkan kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Radio 68H, 5 April lalu.
----------

Bagaimana agama dikenalkan kepada Anda sejak kecil?
Tidak ketat. Bahkan, untuk salat pun, saya tidak pernah dipaksa orang tua. Pendidikan agama pun diserahkan ke sekolah. Orang tua hanya mengajarkan tentang kebaikan dan memberi tahu bahwa saya beragama Islam. Saya juga tidak disekolakan ke madrasah. Guru ngaji memang didatangkan. Tapi, itu jadi bagus karena saya bisa mengerti huruf Arab.

Pengaruh lingkungan dalam membentuk corak keberagamaan, bagaimana?
Saya cenderung antisosial dan tak peduli. Yang menentukan lingkungan waktu itu kebetulan memang agama. Dan, agama yang saya pilih adalah Islam dan karena itu saya lebih mengerti tentang apa yang harus dilakukan dalam bidang itu. Tapi, waktu kelas III SMA, saya mulai memilih kelompok tarbiyah dan mulai mengenakan jilbab.

Itu terjadi sekitar 1990-an. Waktu itu mengenakan jilbab memang tidak dibolehkan di sekolah umum. Semua diseragamkan sekolah. Tapi, dengan begitu, saya justru ingin tampil beda dari anak-anak di sekolah. Saya pikir, jilbab waktu itu adalah sebuah simbol pernyataan diri atau identitas.

Bagaimana nuansa keagamaan di sekolah-sekolah umum saat itu?
Unik. Saya bergairah mengikuti rohis (rohani Islam) karena ada ruang kontemplasi yang saya tidak temukan di televisi dan teman-teman yang suka dugem atau jalan-jalan. Saya justru menemukan kepuasan spiritual di sana.

Saya dulu kan tidak peduli dengan orang lain dan egois. Beranjak dari rohis itu, saya bertemu dengan kelompok-kelompok tarbiyah. Ada halaqah dan segala macam kegiatan.

Tapi, saya tidak cepat puas. Karena ketidakpuasan, saya mulai mencari perbincangan tentang isu-isu perempuan.

Adakah titik balik cara pandang Anda terhadap agama di kemudian hari?
Ya dan itu karena kekecewaan. Saya kan orang sangat idealis. Ketika tak menemukan yang ideal di sana (gerakan tarbiyah), saya mencari yang lain, tapi masih dalam aspek yang sama, yaitu Islam. Waktu juara lomba karya tulis itu, saya didatangi seseorang yang mengajak aktif di halaqah dia.

Dulu saya juga sempat ikut ICMI Orwil Jakarta. Nah, orang itu mengajak saya untuk membuat kajian teoretis-analitis tentang Islam dan kenegaraan.

Ternyata, setelah datang beberapa kali, tiba-tiba saya dibaiat dan diminta berganti nama menjadi Fatimah Azzahra. Di situ saya kemudian menemukan agama bisa menggunakan logika lebih banyak.

Saya diajak berpikir tentang bagaimana Islam di Makkah dan mengapa Nabi hijrah ke Madinah; bagaimana Tuhan dan lain-lain. Analogi-analogi itu, menurut saya, bisa masuk akal.

Seperti apa ikrar baiat ketika itu?
Aduh, saya lupa. Tapi, sifatnya agak militeristis. Loyalitas ditujukan hanya kepada Rabb. Tapi, Rabb yang mereka pikirkan bukan hanya sesuatu yang imajiner, tapi nyata: berupa negara. Kita diajak hijrah dari Makkah ke Madinah, dari jahiliah ke Islam.

Saya merasa menjadi orang yang disucikan, atau dalam istilah mereka, sudah tazkiah. Di situ banyak masalah unik yang saya temukan. Menarik juga sih untuk ukuran waktu itu.

Tapi, lama-lama kok ada tugas macam-macam seperti tugas kenegaraan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Mereka menyebut tugas itu untuk memperjuangkan tegaknya Negara Islam Indonesia (NII). Bagi mereka, di Indonesia itu sebenarnya ada dua negara: RI dan NII.

Ada yang aktual dan ada yang sedang diimpikan. Mereka mengklaim, ketika sudah berganti nama menjadi Fatimah Azzahra, saya sudah hidup di negara yang diimpikan itu (NII).

Adakah hak-hak Anda yang diakui di negara impian itu?
Kalau dihitung-hitung, yang ada kewajiban semua. Jadi, harus membayar infak lah, merekrut orang lah. Setiap bulan saya harus merekrut orang dan selama seminggu diusahakan mendapatkan sebelas orang. Saya sampai turun ke Terminal Pulo Gadung untuk mencari orang yang bisa ditarik ke NII.

Untuk beberapa orang, saya berhasil. Ada sopir Metromini, beberapa mahasiswa, dan sebagian pelajar yang sampai dicari-cari kepala sekolahnya yang berhasil saya rekrut. Pokoknya, militansi saya luar biasa.

Saya berpikir, kalau ingin bikin revolusi, memang harus begitulah caranya. Saya bekerja hampir tanpa pamrih. Tidak ada hak sama sekali, kecuali kepuasan hati. Itu justru dianggap kepahlawanan dan pengabdian kita terhadap negara yang kita impikan.

Apakah juga ada iming-imingnya?
Ya, banyak sekali. Misalnya, kalau NII sudah futuh atau menang dan RI kalah, kamu akan mendapatkan surga sebagaimana yang digambarkan Alquran. Waktu itu, saya berpikir "boleh juga, ini!" Makanya, saya bisa bertahan sampai lima tahun.

Kapan Anda berpikir itu hanya ilusi, lalu banting setir ke persoalan lain?
Ketika mulai melihat ada ideologi yang fasistik di situ. Manusia benar-benar tidak dilihat keberadaannya. Jadi, apa pun yang dikatakan pimpinan kita, kita harus sepenuhnya nurut. Disuruh membunuh orang, kalau perlu, ya bunuh orang. Mencuri, kalau perlu, ya mencuri.

Saya akhirnya sempat mencuri untuk membayar infak. Itu fakta, bukan omong kosong. Yang tidak fair dari gerakan ini: kita selalu dikasih mimpi terus, sama dengan sinetron Hidayah.

Sejak kapan Anda merasa ada yang tidak beres dalam utopia Anda itu?
Pada tahun keempat dalam gerakan. Tahun kelima saya keluar. Itu terjadi saat masih kuliah dan menjelang skripsi. Skripsi saya betul-betul belang-blentong. Tapi, setelah pelan-pelan keluar, akhirnya beres juga skripsi itu.

Sejak itu saya langsung melakukan titik balik. Saya pergi dan tak peduli lagi dengan banyak orang yang mencari. Saya mulai masuk teater Taman Ismail Marzuki. Dan, justru di situlah saya merasakan diri saya sebenarnya.

Apa yang berbeda dari yang Anda rasakan setelah hengkang itu?
Saya merasakan dunia lebih ramah. Saya sudah masuk di fase sebelumnya yang terisolasi. Makanya, saat masuk fase keterbukaan, keragaman, kok saya justru diterima dan merasa jadi diri sendiri.

Akhirnya saya mengekspresikan perasaan itu lewat seni dan teater. Saya sempat ngamen di jalan, nyanyi-nyanyi, dan lain sebagainya. Di situ saya merasakan kehidupan yang sebenarnya.

Ketika memutuskan keluar dari NII, Anda tak takut akan disanksi?
Nggak sama sekali. Semua adalah ilusi. Saya tak pernah mendapat teror. Sampai sekarang saya kira gerakan ini masih ada, tapi under ground. Karena sebagai perempuan, keanggotaan saya hanya sampai level umat. Hanya laki-laki yang bisa menjadi pemimpin.

Karena itu, informasi tentang sistem NII sangat tertutup bagi saya. Saya agak kaget dengan temuan-temuan intelijen tentang kasus terorisme saat ini karena mereka juga memakai sistem sel seperti NII.

Jadi, Anda di pinggiran saat itu?
Ya. Saya tak bisa masuk ke dalam. Dan, begitu keluar, saya tidak lagi bisa menemui mereka dan mereka pun seperti raib entah ke mana. Memang, sempat juga kami digerebek polisi ketika bikin rekrutmen di base camp Bekasi. Polisi sebenarnya tahu itu, tapi kucing-kucingan saja.

Apakah orang tua ikut mengamati perubahan-perubahan Anda?
Jelas. Waktu saya masuk rohis, saya sudah diamati, terutama soal pakaian. Pernah juga saya ditegur teman, "Kok jilbabnya makin panjang?!" Saya mengamuk, "Emang-nya apa urusan Anda?!"

Banyak sekali waktu itu kejadian yang membuat saya cepat marah. Disenggol sedikit langsung marah. Waktu itu, saya memang sangat emosional. Tapi, pelan-pelan, ketika masuk ke fase baru, perkembang emosi dan pikiran saya langsung melejit. Kreativitas makin tumbuh.

Ending dari proses "hijrah" Anda itu apa?
Sampailah ketika saya masuk Program Pascasarjana Kajian Wanita Universitas Indonesia. Di situ saya makin menemukan jati diri saya sebenarnya.

Saya tak lagi menyandarkan diri pada sistem, perintah, atau pimpinan. Saya lebih bersandar pada diri sendiri. Saya kemudian menemukan teori yang cocok untuk diri saya sendiri.

Akhirnya, saya masuk Jurnal Perempuan dan di situ bisa melihat banyak orang dari atas. Rupanya, banyak juga orang yang punya sejarah hidup seperti saya. Banyak ilusinya; banyak utopia yang sama sekali tidak riil. Tapi, saya tidak menyesali pengalaman itu karena itu merupakan bagian dari perjalanan hidup saya. Saya menjadi tahu banyak. (novriantoni)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 20 Apr 2007,
Perihal Sertifikasi Halal

Din Syamsuddin, fungsionaris MUI, baru-baru ini menyatakan bahwa di antara sekitar 100 ribu produk makanan, obat, dan kosmetik yang beredar di pasaran Indonesia, hanya 84 persen yang mempunyai sertifikat halal. Selebihnya masih abu-abu.

Karena itu, dia mendesak pemerintah agar serius mengatasi masalah tersebut. Dia mengatakan, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, sudah semestinya pemerintah memperhatikan dengan sungguh-sungguh masalah halal dan haram itu.

Pernyataan Din itu memperlihatkan dengan jelas bahwa MUI, lembaga tempat dia duduk sebagai tokoh yang cukup penting di sana, menghendaki seluruh makanan, obat-obatan, dan kosmetik yang dijual di pasar Indonesia mempunyai sertifikat halal.

Komentar Din itu patut dipikirkan masak-masak karena mengandung asumsi dan implikasi yang harus diuji ketepatannya. Pertanyaan pertama yang langsung muncul ialah apakah makanan dan obat-obatan yang menurut kepercayaan umat Islam dianggap haram tidak boleh diperjualbelikan di pasar? Apakah daging binatang yang jelas-jelas haram, seperti babi, tidak boleh diperjualbelikan?

Umat Islam tentu memiliki hak sepenuhnya untuk menikmati produk halal sebagai konsekuensi dari kepercayaan yang dianutnya. Tetapi, pada akhirnya, masalah halal dan haram adalah kepercayaan umat Islam, bukan kepercayaan seluruh penduduk Indonesia.

Meski umat Islam adalah penduduk mayoritas, jelas bahwa Indonesia bukanlah sebuah negeri yang hanya dihuni masyarakat Islam. Indonesia adalah negara yang dimiliki semua kelompok negara.

Masyarakat muslim harus bisa membedakan dua kategori: "sehat" dan "halal". "Sehat" adalah kategori yang relevan untuk seluruh masyarakat Indonesia, baik muslim atau nonmuslim. Sementara kategori "halal" hanyalah relevan secara terbatas untuk umat Islam.

Tugas pemerintah sebagai institusi yang menaungi semua kelompok umat beragama hanyalah menjamin status kesehatan makanan. Masalah halal dan haram adalah urusan dapur umat Islam sendiri.

Adalah sama sekali tidak fair jika, misalnya, seorang pengusaha yang bukan muslim diharuskan pemerintah mencantumkan label halal karena itu bukan bagian dari kepercayaan dia. Pemerintah mempunyai kewajiban menghukum suatu perusahaan yang menjual produk makanan yang secara higienis mengancam kesehatan konsumen. Sebab, aspek higienis suatu produk makanan adalah common denominator yang menyamakan seluruh konsumen dari agama apa pun.

Pemerintah tidak bisa diminta oleh umat Islam untuk mewajibkan perusahaan mencantumkan label halal, karena itu hanyalah masalah internal umat Islam sendiri. Paling jauh, perusahaan hanya bisa diminta mencantumkan daftar seluruh bahan (ingredients) suatu produk makanan. Tetapi, meminta mereka mencantumkan label halal adalah berlebihan dan tidak tepat dalam kerangka negara plural seperti Indonesia.

Setelah melihat daftar bahan-bahan itu, keputusan diserahkan sepenuhnya kepada konsumen muslim sendiri: dia boleh beli, boleh tidak. Dalam Islam, seorang muslim tidak bisa dikenai hukuman apa pun karena membeli makanan yang haram. Soal dosa, itu urusan yang bersangkutan.

Tetapi, dari segi hukum publik, seseorang tak bisa dihukum karena membeli makanan yang haram. Sementara itu, pemerintah juga tidak bisa mewajibkan semua perusahaan hanya menjual produk yang halal. Bahkan, dalam hukum Islam sendiri tak dikenal aturan "aneh" semacam ini.

Jika suatu perusahaan ingin menjaring konsumen muslim lalu dengan sukarela mencantumkan label halal, itu hak yang bersangkutan. Tetapi, jika pencantuman itu diharuskan oleh negara seperti naga-naganya dikehendaki MUI, maka itu jelas tidak tepat.

Langkah yang paling tepat bagi masyarakat Islam adalah berkampanye untuk konsumen muslim agar mengonsumsi produk halal. Jika umat Islam terbujuk oleh kampanye itu, lalu terbentuk pasar "produk halal" yang cukup besar, dan memaksa perusahaan secara sukarela mencantumkan label halal dengan sendirinya, itulah proses demokratis dan "alamiah" yang wajar.(ulil abshar-abdalla)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 20 Apr 2007,
Kontroversi dalam Suasana Paskah

Kontroversi penemuan "makam" Yesus mengusik perayaan Paskah tahun ini. Berikut tanggapan Pdt. Martin Lukito Sinaga, dosen di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) Kamis lalu (12/4), di Kantor Berita Radio (KBR) 68H Jakarta.



Pada Paskah tahun ini, umat Kristen dihebohkan oleh kontroversi penemuan "makam Yesus" lewat buku James D. Tabor berjudul The Jesus Dynasty. Apa komentar Anda?

Ini soal yang tidak mudah. Tapi, saya ingin sedikit mundur ke belakang. Setahun terakhir, kekristenan sudah dirundung rasa bingung oleh The Da Vinci Code -novel yang sangat laku dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Sekarang, menjelang Paskah, kita dikejutkan lagi oleh buku James D. Tabor, Ketua jurusan keagamaan Universitas North Carolina di Charlotte, AS, dan tulisan Pdt. Ioanes Rakhmat mengenai kontroversi penemuan makam keluarga Yesus itu. Di kotak makam Talpiot itu dikatakan terdapat tulang-belulang yang menurut penulisnya menunjuk ke tulang Yesus dan trahnya.

Di lingkungan jemaat Kristen, kontroversi ini tentu menimbulkan kebingungan dan pertanyaan. Ini tecermin pada banyaknya pesan pendek (SMS) yang saya terima dari GPIB, GKI, dan gereja saya sendiri. Mereka bertanya: Apa maksudnya? Mana yang benar? Setiap Minggu, kita di gereja mengatakan "aku percaya pada kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, dan aku percaya pada kebangkitan daging".


Jadi, bukan hanya kebangkitan rohani, tapi ragawi juga?

Ya, bukan sekadar roh, tapi Credo in Carnis Resurectionem (doktrin kebangkitan daging). Jadi, buku dan tulisan itu menohok dan mengagetkan. Mengagetkan karena memang jemaat sama sekali tak mengerti, baik duduk perkara tulisan Ioanes Rakhmat itu maupun temuan para ahli yang sebenarnya masih kontroversial itu.

Ketika jemaat ingin lebih spiritualistis menghayati Paskah, tiba-tiba mereka menerima data-data kontroversial. Dan lembaga STT (Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta) tempat saya mengajar, dipertanyakan; masak mendidik mahasiswanya dengan dosen yang mengajarkan hal seperti ini. Bahkan, ada yang mengatakan, "Sudahlah, tidak usah menyekolahkan anak ke situ lagi!"


Apakah umat Kristen tak bisa menghayati Paskah dengan paham bahwa yang bangkit itu hanya rohnya Yesus, bukan sekaligus daging-Nya?

Mengenai Yesus sendiri, dalam Alkitab dikatakan bahwa ketika bangkit, Ia justru menampakkan diri-Nya kepada orang-orang. Bahkan, Ia meminta Thomas untuk memasukkan tangannya di lubang bekas paku yang dialaminya ketika disalib.

Lalu Yesus makan bersama mereka setelah Dia bangkit. Jadi, ada momen yang lebih dari sekadar hal subjektif. Ada momen penampakan. Dan penampakan ini lebih dari sekadar soal spiritualitas. Ini sesuatu yang total. Ini terkait dengan kehadiran.


Tapi kalangan peneliti Yesus sejarah ingin merasionalisasi makna kebangkitan itu. Temuan mereka ini, kalau terbukti benar, mengonfirmasi bahwa kebangkitan itu bersifat metaforis saja. Tanggapan Anda?

Ya, itu memang pendapat para scholar atau para sarjana Yesus sejarah. Tapi kalau kita amati perjalanan keilmuan Yesus sejarah, kita tahu bahwa buku Tabor ini justru memberikan ucapan selamat kepada Albert Schweitzer (1875-1965), seorang ahli Yesus sejarah. Nah, selama ratusan tahun mereka sudah berupaya menemukan siapa Yesus sebenarnya.

Bagi para ahli pencerahan, Yesus itu tak mungkin punya mukjizat. Bagi para ahli teologi pembebasan, Yesus itu adalah Che Guevara; Yesus seorang Marxis. Ketika penelitinya seorang Amerika yang berangkat dari kelas menengah borjuis, ia menyimpulkan bahwa Sang Yesus adalah sang bijak sebagaimana Buddha yang senantiasa memberikan ceramah-ceramah pencerahan batin.


Anda ingin mengatakan bahwa para peneliti itu sembrono menjustifikasi hipotesis mereka?

Kalau kita lihat sejarah hampir dua ratus tahun penelitian Yesus sejarah, tampaknya seperti itu. Para ahli pencerahan yang tidak percaya mukjizat membuktikan bahwa memang benar mukjizat itu tidak ada.

Lalu, orang Amerika yang borjuis mengatakan bahwa Yesus adalah seorang bijak seperti Sang Buddha. Itu karena kebetulan mereka lagi gandrung dengan Buddhisme.

Nah, temuan itu semua adalah gejala-gejala yang mestinya membuat kita harus lebih arif untuk mengatakan bahwa "penemuan-penemuan" tentang Yesus itu adalah spekulatif. Injil memang bukan tulisan sejarah.

Karena itu, ketika orang akan menembus di belakang Injil, maka akan terjadi loncatan-loncatan hipotesis. Nah, hipotesis-hipotesis itu bercorak sangat kontekstual. Jadi, hipotesis itu terkait dengan latar belakang budaya dan sebagainya.


Bukankah yang memahami Yesus bangkit secara faktual ke langit yang justru memaksakan literalisme kitab suci dan menjadikannya sebagai fakta sejarah, berkebalikan dengan para peneliti Yesus sejarah itu?

Saya kira, argumen Anda ada benarnya. Tapi seharusnya para arkeolog itu juga mesti lebih rendah hati dengan mengatakan "tidak tahu" daripada menambah spekulasi dengan mengatakan bahwa Yesus adalah orang yang ingin mendirikan kerajaan seperti Daud. Kan begitu alur buku Tabor! Menurut dia, Yesus adalah orang yang ingin mendirikan dinasti dan punya istri. Dari mana data itu ia dapat selain hipotesis?

Misalnya, dalam buku Tabor dikatakan telah ditemukan kotak kuburan bernama Yesus; lalu ada Yakobus. Lalu ada kotak lain lagi yang berisi kain kafan. Lalu ada Maria. Kemudian, kata Tabor, itu semua dicuri. Harusnya, semua ada dalam satu kotak. Lho, tahu dari mana dia kalau itu harusnya satu kotak? Jadi itu hipotesa saja.

Dan masalah ini sempat masuk ke pengadilan Israel. Yang punya kotak adalah pedagang barang antik yang memalsukan tulisan dan divonis bersalah. Lalu dia naik banding dan menganjurkan perlunya tes DNA. Wah, sekarang tes DNA kasus Munir saja kesulitan, apalagi kasus Yesus.

Karena itu, baiklah ini menjadi percakapan para akademisi di ruang terbatas para spesialis; tidak perlu dijadikan konsumsi publik. Untuk sampai pada kesimpulan seperti ini, publik gereja membutuhkan perjalanan keilmuan yang panjang sekali.


Apakah mengisolasi pandangan baru itu dimungkinkan di abad teknologi informasi ini? Mengapa mereka tak boleh mengumumkan "penemuannya"?

Masalahnya, ketika koran mengutarakan tema-tema spesial akademisi yang kontroversial dan debatable, pembacanya yang sebagian adalah warga gereja itu maunya headline saja. Akibatnya, mereka langsung pada kesimpulan: what’s wrong with our faith? what’s wrong with STT, sebuah institusi yang mendidik orang seperti itu?!


Apa dampak penemuan yang memang belum pasti kebenarannya itu terhadap doktrin kekristenan selama ini?

Daripada kita berspekulasi, mungkin mendingan saya meminjam istilah seorang pemikir besar, Rudolf Bultmann. Dia orang yang konsisten menemukan Yesus dan mengatakan bahwa dia tak menemukan apa-apa dari orang ini selain soal orang yang disalibkan, lalu mengajarkan kerajaan Allah. Dia mengatakan, orang akan sampai kepada iman bukan karena sesuatu yang historis.

Dan Tabor pun sebetulnya ingin mengatakan bahwa kita harus membedakan antara studi historis dan studi teologis. Dengan itu, masalah penemuan historis ini tak terlalu perlu dipusingkan walau kadang ada kaitannya ketika iman Kristiani ingin didefinisikan.(novriantoni)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 27 Apr 2007,
Kartini Korban Bangsawan Tipuan

Kartini adalah pejuang emansipagi bagi perempuan. Namun, Kartini juga korban kekerasan. Bagaimana memahami sosok Kartini ini, berikut petikan wawancara Kajian Islam Utan Kayu dengan Eva Kusuma Sundari, aktivis perempuan dan anggota DPR di Kantor Berita Radio (KBR) 68H, Jakarta.

Bagaimana Anda memahami sosok Kartini?
Dia adalah humanis dan tokoh perempuan nasionalis pertama. Nuraninya digerakkan ketika melihat dikotomi-dikotomi kemanusiaan di masyarakat. Surat-surat yang dia tulis menampilkan sosok Kartini yang gelisah. Kenapa inlandeer (pribumi) mempunyai nasib bodoh, miskin, dan sebagainya. Sementara yang white colour people, yang kolonial kok nasibnya baik.

Demikian juga kenapa harus ada kelas laki-laki dan perempuan: laki-laki bisa sekolah, tidak diharuskan kawin muda, tidak dipingit, dipoligami sebagaimana perempuan di zamannya. Sebagai tokoh humanis, dia melihat problem-problem kemanusiaan. Misalnya, kaum perempuan waktu itu mendapatkan lapis-lapis kelas marginalisasi yang bersusun-susun tebal.

Dia adalah inlandeer, dalam lingkungan inlandeer sendiri ada diskriminasi dari pihak laki-laki karena masyarakat kita masih feodal dan patriarkis. Saya melihat Kartini bukan sekadar sebagai tokoh feminis dan emansipasitoris. Lebih dari itu dia ialah tokoh kemanusiaan dan kebangsaan.

Apa kesadaran kebangsaan itu muncul ketika dia menyadari sebagai pribumi?
Iya. Sebagai pribumi kenapa tidak punya hak apa-apa atas buminya sendiri. Kenapa tidak mempunyai kekuasaan atas tanah sendiri. Kenapa harus membayar pajak pada bangsa penjajah. Kenapa tidak memiliki akses yang luas terhadap pendidikan.

Kenapa pula pendidikan hanya diperuntukkan pada kelas ningkrat, sementara rakyat jelata tidak. Itulah kegelisahan-kegelisahan dia. Isu-isu yang dia kemukakan sangat manusiawi.

Sebagai perempuan, bagaimana Anda melihat sosok Kartini?
Kontribusi terbesar dia membuka kesadaran kita. Kesadaran perjuangan terhadap keadilan, kesataraan, pandangan serta tindakan yang manusiawi, dan sebagainya.

Sayang cara kita memperingati Hari Kartini seperti kembali ke belakang, seremonial. Memuja-muja Kartini. Buat apa kita muja-muja dia? Dia tidak perlu dipuja-puja. Yang penting kan tindak lanjutnya. Sekarang tantangan kita ialah apa yang akan kita lakukan setelah kesadaran itu dibuka Kartini.

Terutama terhadap kaum perempuan sendiri ya?
Ya, tentang status perempuan, tentang nasib, dan implikasi status itu terhadap ekonomi, politik, dan hak akan pendidikan. Sebetulnya contoh dari Kartini yang mampu kita teladani sekarang adalah dia yang berani melawan hegemoni yang dicoba ditanamkan oleh lingkungannya.

Dalam buku yang ditulis Pramudya Ananta Toer Panggil Aku Kartini Saja, menunjukkan Kartini tidak mau dianggap sebagai seorang bangsawan, sebagai raden ajeng. Mengapa dia melawan tradisi itu?

Berarti dia sadar gelar bangsawan hanya tipuan?
Ya. Dia sadar hal itu. Dia dilabeli sebagai raden ajeng, tapi dia tidak pernah mendapatkan hak istimewa. Dia malah dikawinkan paksa oleh amtenaar (bupati).

Jadi apa gunanya label ini? Yang ada malah membatasi kebebasan dan keinginan dia untuk sekolah ke Belanda dan Betawi. Seperti halnya perempun sekarang, dilabeli tiang bangsa, dilabeli pendidik utama, tapi nasibnya kok jelek banget. Ini warisan pendidikan kita yang tidak benar sampai sekarang.

Namun sebagai bangsawan, Kartini mendapat kesempatan pendidikan yang tidak dirasakan kalangan jelata?
Ya. Dia mendapatkan hak itu, tapi tidak efektif kan? Karena dia dipaksa kawin.

Pram menyebut Kartini lepas dari jebakan provinsialisme ketika memberikan beasiswa kepada Agus Salim yang dari Sumatera Barat.
Betul sekali. Sikap Kartini itu bisa menjadi kritik terhadap kesadaran kebangsaan yang menipis saat ini. Sebab, banyak dari kita yang terjebak pada isu kedaerahan.

Kartini lahir dalam keluarga yang berpoligami. Setelah ibunya melahirkan, dia harus pisah, karena ibunya bukan ningrat. Bagaimana Anda melihat kehidupan sosok Kartini seperti itu?
Tentu saya sedih. Kartini korban dari praktik dominasi dan marginalisasi yang berlapis-lapis, baik sebagai anak maupun perempuan dewasa. Proses kreatif Kartini dan rasa kemanusiaannya berpangkal dari kekerasan yang dialami sebagai anak. Hidup Kartini menunjukkan pada kita bahwa dalam masyarakat feodal dan patriarkhis, semua social cost-nya yang menanggung adalah perempuan dan anak-anak.

Pada zaman Kartini, poligami itu didasarkan doktrin agama Islam. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya tidak rela kalau Islam direduksi maknanya yang membawa keadilan dan kebebasan kepada makna yang sesungguhnya mengerdilkan Islam itu sendiri. Islam menjadi norak.
Padahal, Islam itu menjamin kesetaraan. Di hadapan Tuhan itu hanya takwanya yang membedakan. Tidak ada yang berbasis gender. Muslim itu syarat pertamanya harus cerdas, jangan taklid.

Ada tudingan ide-ide Kartini yang sangat maju karena dia lebih terpengaruh oleh ide-ide Belanda, bukan dari Nusantara. Tanggapan Anda?
Saya tidak setuju ide tentang egalitarianisme atau humanisme itu selalu datang dari Barat. Di Indonesia, dalam Islam, misalnya, aspek-aspek itu ada. Hanya tidak pernah dielaborasi.

Agama dari dulu sampai saat ini dijadikan alat tunggangan untuk dominasi. Tidak bisa mendominasi orang lain, maka istri dan anak-anaknya yang menjadi korban. Untuk mengelaborasi aspek-aspek kesetaraan dan humanisme itu, harus ada demokratisasi dalam Islam.

Kita hanya telat, bukan tidak punya. Tapi, kalau cara-cara keislaman masih memosisikan perempuan di kelas dua, perempuan hanya objek, komoditas, hanya pabrik untuk anak, berarti kita melanjutkan zaman jahiliyah yang tidak ada kemajuannya bagi peradaban.

Itu menunjukkan ide-ide Kartini berbasis pada dirinya sendiri dan bukan karena pengaruh Barat?
Sama sekali tidak. Basisnya pengalaman dan pengamatan dia. Bagaimana sensitivitasnya mampu merasakan kejanggalan-kejanggalan yang dialami sendiri, seperti dipingit, dikawinkan muda, dan sebagainya.

Kartini mengkritik feodalisme Jawa, tanggapan Anda?
Jawa itu stratifikasi sosialnya juga banyak. Kalau saya ditanya, Jawa Pesisir sangat egaliter, kebetulan Kartini hidup di masyarakat Jawa yang penuh tipu-tipu dan norma-norma yang membelenggu.

Jadi, norma Jawa itu seperti Islam sangat beragam, dan bergantung kita mau pilih yang mana. Contohnya dari doktrin Islam itu mau diambil yang menjustifikasi poligami atau yang membebaskan perempuan.

Seperti halnya Soeharto, mengambil nilai-nilai Jawa yang bisa untuk mendominasi dan melanggengkan kekuasaan. Tapi, ada juga nilai-nilai Jawa yang digunakan untuk pembangkangan atau pemberontakan terhadap dominasi.

Kartini tak hidup pada lingkungan agama yang kuat, namun mampu memahami makna agama dengan baik. Mengapa hal itu terjadi pada Kartini?
Kartini sampai pada tingkat substansi, bukan lagi pada bungkus. Misalnya, substansi agama itu adalah welfare (kesejahteraan). Agama itu mendorong perempuan agar tidak bodoh dan miskin.

Misal lain, mencuri dan korupsi itu dilarang. Di semua agama ajaran itu ada. Karena itu, agama adalah sumber perilaku kita, bukan sebagai alat propaganda untuk mencari kekuasaan.

Orang beragama membawa misi kebaikan di dunia. Di setiap agama, potensi itu ada. Tapi, kacaunya tiap agama kan ada saja yang menggunakan untuk mencari kekuasaan sehingga kerusakan yang dia timbulkan. (M. Guntur Romli)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 04 Mei 2007,
NU v Gerakan Trans-Nasional

Baru-baru ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) mengeluarkan seruan penting, sebagaimana dilansir NU Online, 24 dan 25 April 2007. PB NU meminta masyarakat Indonesia berhati-hati terhadap gerakan trans-nasional yang berkembang di Indonesia. Gerakan itu dinilai berpotensi menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.

Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi menyebut beberapa organisasi dan gerakan keagamaan seperti al-Qaidah sebagai bagian dari international political movement (gerakan politik dunia) yang tak punya akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia.

Menurut Hasyim, organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sekadar sebuah ideologi politik, bukan jalan hidup.

Lebih jauh, Hasyim menengarai bermunculannya tendensi formalisasi agama sebagai indikator gerakan mereka. Padahal, tegas Hasyim, yang perlu dilakukan mestinya bukan formalisasi, melainkan substansialisasi agama.

Kiai Hasyim pun gerah terhadap tindakan mereka yang menghujat kebiasaan amaliah-ritualistik warga NU. Mereka itu, tandas Hasyim, juga telah mengambil-alih masjid-masjid yang dulu didirikan warga NU. Hasyim meminta warga NU menjaga masjid-masjid tersebut agar tak dijadikan pangkalan untuk menyerang NU dan republik.

Untuk mengantisipasi pergerakan mereka, demikian Hasyim, sekurangnya ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, pemantapan ideologi negara Pancasila. Semua gerakan politik di negeri ini harus berasas Pancasila, bukan yang lain. Kedua, perlunya mengukuhkan sendi-sendi Islam moderat hingga ke level bawah masyarakat. Islam moderat inilah yang berpandangan toleran (tasamuh) terhadap pluralitas yang ada di Indonesia.

Sebagai orang yang terlahir dari kultur NU, saya memahami kegelisahan PB NU tersebut. Taushiyah itu kiranya tak mengada-ada. Ia disusun setelah memperhatikan data-data empiris, bukti-bukti otentik, dan laporan dari para kiai NU di daerah-daerah. Dan kewaspadaan NU cukup beralasan karena kaum nahdliyyin tak rela Indonesia dalam petaka.

Semua tahu, NU adalah salah satu ormas keagamaan yang ikut mendesain berdirinya republik ini. Indonesia tegak, salah satunya, karena darah dan air mata para kiai dan warga nahdliyyin. Kaum nahdliyyin berjuang memanggul bambu runcing dan tongkat untuk mengenyahkan para penjajah. Kaum nahdliyyin bukan hanya berkorban harta, bahkan jiwa pun mereka pertaruhkan untuk rumah bernama "Indonesia".

Demikian besar pengorbanan banyak orang demi tegaknya Indonesia. Karena itu, wajar kalau NU geram terhadap sejumlah organisasi yang baru muncul seumur jagung dan berpretensi ingin mengubah ideologi negara. Sudah berkali-kali para kiai NU menegaskan Indonesia dengan Pancasila dan NKRI-nya merupakan keputusan final.

Bagi NU, Pancasila bukanlah ideologi transisi yang secara terpaksa diterima karena politik belum memungkinkan tegaknya ideologi definitif; ideologi Islam misalnya. Ada konsensus di kalangan NU bahwa ideologi Pancasila bagi Indonesia adalah qath’i.

Karena itu, siapa pun yang ingin mengubah Pancasila dan NKRI, langsung atau tidak langsung, akan berhadapan dengan ormas keagamaan terbesar itu. Keinginan Hizbut Tahrir membentuk khilafah Islamiyah, suka atau tidak suka, akan bertubrukan dengan sikap para kiai NU. Begitu juga kehendak ormas-ormas kecil untuk menyulap Indonesia menjadi negara Islam.

Sebagaimana NU, kita juga menghendaki berlanjutnya Indonesia sebagaimana dikehendaki para founding father & mother bangsa ini. Untuk itu, komitmen kebangsaan dan ketundukan semua warga negara terhadap ideologi Pancasila, UUD 1945, dan NKRI mutlak diperlukan. Pengabaian terhadap ideologi negara bisa saja mengantarkan Indonesia ke proses balkanisasi.

Jika itu yang terjadi, Indonesia bukan hanya akan tersisa dalam buku-buku sejarah karena sosoknya sudah ilang kerta ning bumi, tapi konflik antaranak bangsa pun bisa jadi tak terelakkan. Kita jelas tak menginginkan itu. Itulah pentingnya memperhatikan taushiyah PB NU kali ini. (abd moqsith ghazali)