Friday, June 22, 2007

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 20 Apr 2007,
Perihal Sertifikasi Halal

Din Syamsuddin, fungsionaris MUI, baru-baru ini menyatakan bahwa di antara sekitar 100 ribu produk makanan, obat, dan kosmetik yang beredar di pasaran Indonesia, hanya 84 persen yang mempunyai sertifikat halal. Selebihnya masih abu-abu.

Karena itu, dia mendesak pemerintah agar serius mengatasi masalah tersebut. Dia mengatakan, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, sudah semestinya pemerintah memperhatikan dengan sungguh-sungguh masalah halal dan haram itu.

Pernyataan Din itu memperlihatkan dengan jelas bahwa MUI, lembaga tempat dia duduk sebagai tokoh yang cukup penting di sana, menghendaki seluruh makanan, obat-obatan, dan kosmetik yang dijual di pasar Indonesia mempunyai sertifikat halal.

Komentar Din itu patut dipikirkan masak-masak karena mengandung asumsi dan implikasi yang harus diuji ketepatannya. Pertanyaan pertama yang langsung muncul ialah apakah makanan dan obat-obatan yang menurut kepercayaan umat Islam dianggap haram tidak boleh diperjualbelikan di pasar? Apakah daging binatang yang jelas-jelas haram, seperti babi, tidak boleh diperjualbelikan?

Umat Islam tentu memiliki hak sepenuhnya untuk menikmati produk halal sebagai konsekuensi dari kepercayaan yang dianutnya. Tetapi, pada akhirnya, masalah halal dan haram adalah kepercayaan umat Islam, bukan kepercayaan seluruh penduduk Indonesia.

Meski umat Islam adalah penduduk mayoritas, jelas bahwa Indonesia bukanlah sebuah negeri yang hanya dihuni masyarakat Islam. Indonesia adalah negara yang dimiliki semua kelompok negara.

Masyarakat muslim harus bisa membedakan dua kategori: "sehat" dan "halal". "Sehat" adalah kategori yang relevan untuk seluruh masyarakat Indonesia, baik muslim atau nonmuslim. Sementara kategori "halal" hanyalah relevan secara terbatas untuk umat Islam.

Tugas pemerintah sebagai institusi yang menaungi semua kelompok umat beragama hanyalah menjamin status kesehatan makanan. Masalah halal dan haram adalah urusan dapur umat Islam sendiri.

Adalah sama sekali tidak fair jika, misalnya, seorang pengusaha yang bukan muslim diharuskan pemerintah mencantumkan label halal karena itu bukan bagian dari kepercayaan dia. Pemerintah mempunyai kewajiban menghukum suatu perusahaan yang menjual produk makanan yang secara higienis mengancam kesehatan konsumen. Sebab, aspek higienis suatu produk makanan adalah common denominator yang menyamakan seluruh konsumen dari agama apa pun.

Pemerintah tidak bisa diminta oleh umat Islam untuk mewajibkan perusahaan mencantumkan label halal, karena itu hanyalah masalah internal umat Islam sendiri. Paling jauh, perusahaan hanya bisa diminta mencantumkan daftar seluruh bahan (ingredients) suatu produk makanan. Tetapi, meminta mereka mencantumkan label halal adalah berlebihan dan tidak tepat dalam kerangka negara plural seperti Indonesia.

Setelah melihat daftar bahan-bahan itu, keputusan diserahkan sepenuhnya kepada konsumen muslim sendiri: dia boleh beli, boleh tidak. Dalam Islam, seorang muslim tidak bisa dikenai hukuman apa pun karena membeli makanan yang haram. Soal dosa, itu urusan yang bersangkutan.

Tetapi, dari segi hukum publik, seseorang tak bisa dihukum karena membeli makanan yang haram. Sementara itu, pemerintah juga tidak bisa mewajibkan semua perusahaan hanya menjual produk yang halal. Bahkan, dalam hukum Islam sendiri tak dikenal aturan "aneh" semacam ini.

Jika suatu perusahaan ingin menjaring konsumen muslim lalu dengan sukarela mencantumkan label halal, itu hak yang bersangkutan. Tetapi, jika pencantuman itu diharuskan oleh negara seperti naga-naganya dikehendaki MUI, maka itu jelas tidak tepat.

Langkah yang paling tepat bagi masyarakat Islam adalah berkampanye untuk konsumen muslim agar mengonsumsi produk halal. Jika umat Islam terbujuk oleh kampanye itu, lalu terbentuk pasar "produk halal" yang cukup besar, dan memaksa perusahaan secara sukarela mencantumkan label halal dengan sendirinya, itulah proses demokratis dan "alamiah" yang wajar.(ulil abshar-abdalla)

No comments: