Friday, June 22, 2007

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 08 Juni 2007,
Lewat Adat, Pijakan Bersama Bisa Ditemukan

Pendeta Jacklevyn Fritz Manuputty:
Dalam proses resolusi konflik Maluku, adat berfungsi sebagai penghimpun tatkala agama mencerai-beraikan. Kearifan lokal kembali digadang-gadang sebagai ratu adil untuk semua. Berikut percakapan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Pendeta Jackvelyn Manuputty, tokoh Maluku yang Selasa (28/5) lalu menerima Maarif Award karena kontribusinya dalam proses resolusi konflik di Maluku.
-------------

Bung Jacky, apa makna Maarif Award yang Anda terima bagi resolusi konflik di Maluku?
Sebenarnya, saya baru oke menerima award itu tiga hari menjelang acara digelar di Jakarta. Sebab, saya sadar, bagi masyarakat Maluku, figurisasi itu berbahaya bagi proses perdamaian di Maluku sendiri. Setiap orang Maluku merasa independen dan berpartisipasi dalam upaya perdamaian dan tidak ada yang mewakili siapa pun. Siapa yang merepresentasi siapa adalah persoalan. Kecuali kalau kita yakin bahwa proses itu didukung orang.

Namun, ada pertimbangan lain dari teman-kawan sehingga saya bersedia menerima award tersebut. Selama ini, pengalaman-pengalaman empirik kita telah dipersonifikasikan oleh sebanyak orang yang datang untuk memediasi, memfasilitasi, dan meng-impose berbagai teori tentang manajemen konflik di Maluku. Seakan-akan kita, Muslim dan Kristen Maluku, tidak mampu melakukan itu. Saya selalu bilang bahwa kita harus buktikan bahwa kita mampu dan kearifan lokal kita tidak hancur seperti yang disampaikan di luar sana. Kalau mau menunjukkan, kita mampu. Ya, kita terima ini, kata mereka. Dan kebetulan, saya memimpin lembaga antariman di sana.

Karena itu, Maarif Award ini bermakna. Pertama, kita ingin men-sounding bahwa proses-proses lokal itu sebenarnya hidup dan bisa dipakai untuk resolusi konflik. Kedua, kita ingin memberi pesan yang korektif pada proses berbangsa ini. Menurut kita, masalah di Maluku bukan pada cara merekonstruksi-ulang makna verbal dari kekerabatan dan solidaritas, tapi bagimana menggunakannya secara strategis dan merangkainya dalam proses pembangunan. Persoalan klasik yang sampai sekarang terjadi di mana-mana adalah: kebudayaan tak pernah diikutsertakan dalam strategi pembangunan.

Apa kearifan lokal yang digunakan dalam resolusi konflik Maluku dan bagaimana mekanismenya?
Ada spontanitas dari masyarakat yang tumbuh saat konflik dan meningkat pasca-konflik, terutama masyarakat adat, untuk kembali memakai elemen-elemen lokal dan instrumen-instrumen adat dalam merajut kembali hubungan antarmasyarakat. Itu tanpa difasilitasi oleh pemerintah atau pihak lain. Kegiatannya seperti proses pendirian rumah adat yang tiba-tiba menjadi sangat marak dan menghadirkan apa yang disebut Pela Gandong.

Istilah Pela Gandong ini menyangkut relasi geneolog. Di sana kita percaya bahwa meski Anda muslim dan saya Kristen, nenek-moyang kita tetaplah sama, sehingga kita bersaudara. Gandong artinya adik.

Ada Panas Pela sebagai upacara ritual yang secara periodik diadakan untuk mengingatkan kembali kearifan itu. Itu yang dikembangkan secara spontan, terutama di akhir konflik. Saat ini saya melihat ada kegalauan kolektif, kegalauan sosial pascakonflik; orang-orang Maluku kehilangan common ground atau pijakan bersama. Mau dicari ke agama, ternyata sangat sensitif; ke politik hancur-hancuran; ke ekonomi lebih parah lagi. Lalu, orang merujuk balik kepada apa yang kita punya sama-sama.

Jadi, yang menghimpun justru adat, bukan agama?
Tentu saja! Melupakan adat adalah kesalahkaprahan kita dalam melihat faktor keharmonisan Maluku dalam lintasan sejarah. Saya bilang itu bentuk quasi-historis. Sebenarnya, (adat) itu juga baru kita temukan ketika konflik. Selama ini, ada ketegangan-ketegangan diam dalam kurun waktu panjang, bahkan sejak zaman kolonial, yang penyelesaiannya tak pernah tuntas. Biasanya, ketegangan apa pun yang terjadi, penyelesaiannya selalu dibawa ke ruang kultural: adat atau budaya. Adat menjadi buffer-zone.

Tapi, ketika di Maluku terjadi kerapuhan budaya, terutama sejak 1970-an, kita kehilangan zona pengaman itu. Politisasi agama di level nasional yang berimbas ke daerah-daerah akhirnya ikut menyuburkan ketegangan-ketegangan diam yang terinternalisasi di alam bawah sadar kita sejak lama. Ketika konflik pecah dan berdarah-darah, kita ternyata lemah di aspek adat-istiadat itu.

Ada yang menyebut sebetulnya warisan Pela Gandong itu hanya mitos sehingga tak bisa direalisasikan lagi?
Ya, tapi spontanitas masyarakat memunculkan itu kembali. Yang harus dilakukan adalah proses revitalisasi. Gandong, secara faktual tak bisa dikembangkan, karena memang berdasar relasi geneolog. Tapi, Pela adalah pakta perjanjian yang dibuat dalam kurun waktu tertentu pada peristiwa tertentu yang bisa dikembangkan dan direvitalisasi kembali. Desa-desa yang berbatasan dibuatkan pakta atau perjanjian pelanyan dengan sumpah adat dan agama seperti dulunya. Prosesnya harus holistik dan tidak fragmentaris sehingga menyeret sinergi keseluruhan elemen masyarakat.

Kadang, apa yang dilakukan pemerintah, seperti pembuatan Pela Gandong, juga sangat artifisial dan tidak mendalam. Sebab, yang ikut hanya yang muda-muda. Padahal, yang tua-tua dalam masyarakat adat masih sangat didengar. Konflik kembali menstimulir apresiasi terhadap adat karena ada anggapan bahwa kita harus bertanggung jawab lantaran terjadinya pelanggaran adat yang sudah sangat parah. Dan, ini memang masih tentatif karena orang sedang mencari ratu adil dan karena itu merujuk ke sesuatu yang pernah ada di masa lalu. Namun, proses ini terjadi spontan tatkala masyarakat ingin melegitimasi kembali perjumpaannya dan ini yang harus disambut.

Proses ini harus direvitalisasi dan dikawal dengan semua strategi kebudayaan. Sebab, proses akulturasi dan bahkan asimilasi agama dan budaya saja belum selesai, terutama di lingkungan Kristen. Saya selalu bilang pada teman-teman Kristen bahwa kita harus belajar dari kaum muslim karena proses penghancuran adat-istiadat di Maluku, salah satunya, adalah karena gereja. Sejarahnya sangat politis karena basis-basis adat dianggap pusat perlawanan di era kolonial. Karena itu, gereja yang erat dengan kolonialisme dipakai untuk melemahkan semangat-semangat adat. Mazhab gereja yang masuk saat itu adalah mazhab yang puritan. Sementara, kaum muslim saat itu ada dalam proses yang stagnan dan karenanya adat lebih terpelihara.

Jadi, ada pribumisasi Islam Maluku, belum pribumisasi Kristen?
Saya melihatnya begitu walau itu tidak berarti negatif. Di tahun 1960-an, gereja pernah menggagas kontekstualisasi kekristenan, tapi tidak tuntas. Mereka membikin pesan Thomas karena merasa tidak kontekstual, tapi itu juga sangat verbalistik. Jadi, ada beban sejarah yang sangat besar dalam konflik di Maluku. Karena itu, dalam studi agama-agama tahun lalu, kita mencoba melihat semua babakan sejarah Maluku. Ada dorongan bersama untuk menulis ulang sejarah Maluku dari perspektif bersama.

Apakah dialog antaragama yang Anda gerakkan masih dalam kerangka adat?
Sebenarnya tidak melulu dalam kerangka adat. Tapi, kita memang memakai penghampiran-penghampiran yang tidak hanya sampai ke kepala untuk bisa dimengerti. Kita harus menembus ruang rasa, termasuk dalam penggunaan idiom-idiom untuk mendorong proses live-in (tinggal bersama) antaragama. Idiom bersama itu mesti ada. Kami hanya mencoba mengorek itu agar keluar.

Selama ini, sering perjumpaan-perjumpaan antaragama itu di-frame dalam bentuk yang sangat formal, mekanis, dan teknis. Sehingga kita kehilangan ruang yang dikreasi untuk perjumpaan-perjumpaan kemanusiaan yang total.

Apakah keberagamaan masyarakat Maluku cukup puritanistik dan sudah segregatif sebelum konflik?
Soal segregasi wilayah itu bukan hal baru di Maluku. Itu kerjanya Belanda sejak dulu. Untuk mengontrol daerah penjajahan, mereka membuat segregasi dan membedakan desa muslim dan desa Kristen. Jadi, dari dulu, kita tahu desa mana yang sebagian besarnya muslim dan yang mana yang Kristen. Konflik membuat itu makin terbelah. Yang menarik, karakter orang Maluku itu sangat dualistis. Di Jogja, arah mata angin itu ada empat: barat, timur, utara, dan selatan. Tapi di Maluku hanya ada dua: ke laut dan ke darat. Pascakonflik, dua istilah itu makin menunjukkan tribal group (kelompok suku). Karena muslim tinggal di pesisir, maka ungkapan "dong di laut" (mereka di laut) pasti mengacu pada muslim. Kalau "dong di darat", itu pasti Kristen.

Yang menarik, untuk kalangan internal suatu desa/masyarakat yang homogen, posisi agama sangat primer. Ia menjadi alat integrasi sosial. Kita mengenal istilah "anak negeri" dan "anak dagang". Anak dagang adalah orang dari luar yang tinggal dalam desa itu. Saya bisa tinggal puluhan tahun di desa muslim atau yang muslim tinggal di desa Kristen, tapi saya akan tetap berstatus anak dagang dan tak akan pernah terintegrasi sebagai anak negeri. Memang ada Soa atau klan yang disediakan untuk menampung orang dagang yang ada agar terintegrasi. Namun, mereka tak punya adat karena mereka beda agama. Melakukan ritual agama bagi Kristen di tempat muslim atau sebaliknya adalah persoalan yang sangat sensitif. Itu terjadi di dalam suatu desa.

Bagaimana Anda melihat pola keberagamaan orang Maluku selama ini?
Keberagamaan orang Maluku itu sangat simbolistik dan tidak fanatik. Sebab, proses internalisasi agama orang Maluku, terutama Kristen, tidak terjadi secara tuntas. Ada banyak masa peralihan kekristenan dari masa Portugis, lalu VOC, lalu ke gereja Hindia-Belanda. Dari semua proses itu, tiba-tiba orang Kristen hilang semua. Perspektif bacaan kita terhadap sejarah kekristenan adalah soal invasi. Sejarah agama-agama yang ditulis juga sangat politis. Tidak ada bacaan terhadap sejarah agama-agama di sana yang bersifat sosio-kultural. Karena itu, kita tidak tahu bagaimana proses inkulturasi terjadi; bagaimana dialektika perjumpaan; bagaimana sistim-sistem nilai saling dikomunikasikan.

Ada beberapa orang yang mencoba menulis model sinkretistik agama Kristen di Maluku. Konon, katanya, agama Kristen hanya vernis yang melekat di bagian atas struktur budaya masyarakat Maluku. Keislaman juga dianggap begitu. Di tingkat ini, menarik melihat Islam Maluku yang bersifat sangat kultural. Karena itu, kedatangan Lasykar Jihad ke Maluku membuat suasana menjadi tambah tegang. Mereka memperumit masalah karena menganggap Islam Maluku itu banyak bid’ahnya. Akibatnya, tokoh-tokoh tua di sana marah luar biasa. Islam sudah berurat berakar pada mereka. Tiba-tiba, sekelompok anak muda datang untuk mengajarkan Islam dan menganggap mereka bid’ah.

Apa saja upaya-upaya yang Anda lakukan untuk memajukan semangat toleransi beragama di Maluku selain live-in?
Kita mewacanakan persoalan multikultural, pluralisme, dll. Ini memang sangat elitis di tingkat komunitas masing-masing. Tapi, itu kita sosialisasikan ke pendeta-pendeta yang biasa berkhotbah. Tema sentral khotbah kita pada tahun 2007 ini, misalnya, pluralisme. Materinya dibuat tersentralisasi, kemudian didistribusikan. Merekalah yang lalu mengolahnya berdasar kekhasan jemaat-jemaatnya.

Selain program live-in antaragama, kita juga menggalakkan tafsir pluralis yang melibatkan dosen teologia maupun dari IAIN. Dari situ, kita membagi kelompok live-in. Ada yang tinggal di pesantren dan ada dijadwalkan untuk mengenal kegiatan-kegiatan gereja. Karena proses di bawahnya sudah dikondisikan dan jaringan sudah terbangun, maka tidak ada resistensi untuk kegiatan itu.

Bagaimana reaksi orang Maluku saat pluralisme di haramkan MUI?
Ketika pluralisme diharamkan di Jakarta, ini jadi cerita menarik. Sebelumnya, kita sering bicara pluralisme dan melakukan doa bersama. Ada program khotbah dan dakwah damai. Tiap bulan ulama-ulama pada level basis dikumpulkan, lalu kita bicara HIV/AIDS, soal kemiskinan, dan korupsi. Dan, itu kita sepakati jadi tema khotbah dan dakwah. Ketika bicara itu, ahlinya kita panggil.

Nah, ketika keluar fatwa itu, ketua MUI di sana yang justru kelimpungan. Akhirnya, dia ambil kesimpulan, "Pokoknya, yang isme itu yang haram, tapi pluralitas harus!" Mereka juga bilang, "Itu kan soal mereka di Jawa, bukan soal kita!"

Dari situ, saya melihat bahwa beberapa ulama di sana mengalami moderasi juga. Karena memang ada perubahan atmosfer: publik sudah cenderung ke arah perdamaian. Saya juga melihat, internalisasi ideologi kekerasan sebenarnya tidak terlalu parah terjadi. Hanya kelompok-kelompok kecil yang masih ada.

Ketika konflik meletus, memang tiba-tiba perempuan muslim diharuskan untuk berjilbab. Tapi, belakangan, mereka lepas lagi. Kondisi ini membuat kelompok-kelompok keras tersudut. Yang perlu diantisipasi, ketika mereka tersudut, akan muncul post-power syndrom. Sebab, ketika konflik, mereka sangat dibutuhkan. Makanya, kita tetap berupaya merangkul mereka agar tidak terlalu tersudut.

Anda optimistis perdamaian di Maluku akan langgeng?
Optimistis, ya harus. Tapi, ada isu besar yang belum selesai, yaitu reintregasi sosial. Sebab, pertama, secara faktual, kita memang sudah tersegregasi; bukan hanya by place, tapi juga by mind. Kedua, memang kontur wilayah memungkinkan terjadinya konflik lagi. Ketiga, kita tidak punya grand narasi. Kita hanya punya narasi kecil pulau-pulau. Kondisi seperti ini sangat memungkinkan konflik terpelihara secara potensial, sekalipun bukan dalam bentuk agama. Bisa jadi konfliknya berlatar belakang etnik atau subetnik, konflik sumber daya alam, dll.

Karena itu, bagi saya, apa pun program dan perencanaan yang dikembangkan untuk Maluku, harus diukur seberapa persen kebutuhan reintegrasi sosial built-in di dalamnya.
[Novriantoni dan Anick H. Tohari]

No comments: