Friday, June 22, 2007

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 11 Mei 2007,
Penting, Agama di Indonesia

Andreas Harsono
Agama di Indonesia itu penting. Tetapi, Indonesia yang mana? Demikian pernyataan Direktur Pantau Andreas Harsono kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Kantor Berita Radio 68H Jakarta, Kamis (3/5) lalu.



Bagaimana sosialisasi keberagamaan Anda di masa kecil?

Saya lahir dari keluarga Tionghoa di Jember, sebuah kota perkebunan tembakau. Orang sana dapat duit dari tembakau. Mayoritas penduduknya campuran Jawa-Madura dan mereka pengikut NU.

Saya termasuk generasi ketiga keluarga yang hidup di sana. Sejarahnya, engkong dan emak saya datang dari sebelah selatan Tiongkok, di daerah dekat Guang Dong. Seperti kebanyakan orang Tionghoa, kami dibesarkan dalam agama Konghucu. Jadi, saya tahu ada kelenteng, ada Lian Long di Jember.


Apa implikasi tidak adanya pengakuan terhadap agama Konghucu itu?

Nama harus diganti dengan nama Indonesia. Itu peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa semua orang Tionghoa harus diganti namanya. Nama saya dulunya adalah Ong Tjie Liang. Waktu itu kami susah juga; bagaimana nama harus diganti? Ayah saya lalu pergi ke seorang guru yang diaggap baik di Jember. Beliau mengusulkan nama ayah diganti jadi Harsono.


Trik-trik apa yang dilakukan keluarga Anda untuk mengungkapkan ekspresi keberagamaan?

Ya, pragmatis saja. Yang penting selamat. Kita tidak mungkin melawan negara yang begitu besar ini. Kami juga sadar bahwa kami adalah minoritas kecil. Mempertahankan Konghucu sebagai agama untuk dianut ya tidak mungkin.

Jadi, ya pindah agama lain. Memang ada juga yang mempertahankan Konghucu secara diam-diam. Mereka sebenarnya cukup banyak. Tapi, ya tetap sulit; sama sulitnya dengan belajar bahasa Mandarin. Orang akan sulit belajar agama Konghucu kalau belajar bahasanya saja juga dilarang. Akhirnya, kemampuan berbahasa itu hilang.


Anda juga coba mengenal lingkungan yang dominan Islam tradisional?

O, ya. Saya bisa bahasa Madura, bahasa Jawa, sedikit Mandarin. Kaum minoritas yang tertindas di mana-mana di seluruh dunia, baik Yahudi, orang Jawa di Suriname, atau orang hitam, selalu harus fleksibel dan mesti belajar sebanyak mungkin dari masyarakat sekelilingnya.


Tapi, tak mungkin menanamkan keyakinan agama yang betul-betul ketat, ya?

Nggak juga. Saya belakangan sadar bahwa kita tetap bisa belajar agama apa pun sebanyak mungkin. Tidak hanya satu. Dan itu menurut saya lebih baik. Sampai sekarang, saya selalu merasa senang kalau melihat orang salat sendiri dengan syahdu atau zikir sendirian. It’s beautiful! Saya belajar.


Kapan Anda keluar Jember dan melihat dunia luar lebih beragam?

Saya tinggal di Jember sampai umur 15 tahun. Saat SMA, saya dikirim ke kota Malang. Di sana saya sekolah di sekolah Katolik lagi. Namanya SMAK Sint. Albertus; sebuah sekolah tua dari zaman Belanda. Setelah itu, saya kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Nah, ini sekolahan Protestan. Tapi waktu itu, dosennya bagus-bagus. Ada Arief Budiman, George Aditjondro, Ariel Hariyanto, Nico L. Kana, dan Richard Hutapea.

Ada juga Pendeta Sutarno yang sangat renaissance dan Pendeta Probo yang mendirikan Parkindo (Partai Kristen Indonesia, Red) saat di Belanda.


Apakah agama di Indonesia dianggap penting?

O, ya. Di Indonesia, agama itu cukup penting. Tapi, di Indonesia yang mana dulu, tentu harus kita tanya. Indonesia begitu beragam. Secara geografis, Indonesia punya empat bahkan lima time zone: WIB, Wita, dan WIT. Seharusnya ada lima. Nah, di lima kawasan ini, dari Aceh sampai Papua, ada lebih dari 500 bahasa. Di Pulau Miangas yang dekat dengan Mindanao, misalnya, ada bahasa Talaut, bahasa Tomea, bahasa Binongko, bahasa Rote, dan lain-lain.


Ada semacam stereotipe orang Tionghoa tertutup dalam pergaulan dengan etnis lain. Apa penjelasan Anda?

Ada dua teori untuk menjawab soal eksklusivitas orang minoritas. Saya mulai dari cerita. Saya pernah mengajar di IAIN Al-Raniry Banda Aceh. Nah, di Banda Aceh itu, ada semboyan bahwa bangsa Indonesia itu sebetulnya tidak ada. Yang ada adalah "bangsa Jawa" dengan nama samaran "bangsa Indonesia". Dan, Jawa itulah yang menjajah Aceh.

Nah, di Aceh juga banyak transmigran dari Jawa. Pada suatu saat, salah satu mahasiswa saya tanya. Mereka biasanya panggil saya Teuku. "Teuku Andreas, mengapa orang-orang Jawa tidak mau bergaul dengan orang lain? Kalau ngomong, meski di luar Jawa, mereka tetap pakai bahasa Jawa. Bahkan, kawin pun harus dengan orang Jawa. Mereka juga tidak mau bergaul," katanya.

Lalu, saya jawab, "Ya biasa, orang minoritas itu, ya begitu!" Mereka pertama-tama harus bergelut lebih kuat dibanding yang mayoritas. Itu karena posisi mereka kecil. Dan mereka harus bekerja lebih keras. Kalau kita lihat para pendatang di Papua, baik dari suku Bugis, Batak, Jawa, dan lain-lain, mereka juga termasuk pekerja-pekerja keras. Kebanyakan berhasil. Di mana-mana, orang minoritas itu seperti itu. Karena bekerja terlalu keras, mereka lupa bersosialisasi.

Tapi di Aceh, banyak sekali orang Jawa yang bisa bahasa Aceh. Sama halnya dengan orang Tionghoa yang bisa bahasa Jawa, Sunda, dan seterusnya.

Jadi, biasalah itu. Meskipun kadang kita jengkel juga kalau melihat orang Tionghoa yang hanya mikirin kerja dan seterusnya. Tapi yang penting, mereka tidak bunuh orang, tidak melakukan kekerasan. Itu yang penting.


Tapi, selalu ada perasaan tidak aman gitu ya?

Ya, tentu. Itu terjadi di mana-mana. Misalnya orang-orang Madura di Kalimantan Selatan. Mereka didiskriminasikan secara luar biasa. Tidak ada diskriminasi yang lebih besar di Indonesia sehebat yang dialami orang Madura di Kalimantan Selatan. Dari Pontianak sampai Samarinda.

Tapi, mereka juga bekerja keras. Dan saya tahu, betapa kerasnya mereka bekerja. Kadang-kadang sampai disalahmengerti tetangganya. Ya, mereka dianggap tidak peduli dengan tetangga karena jarang bergaul.(novriantoni)

No comments: