Friday, June 22, 2007

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 06 Apr 2007,
Maulid Nabi Bersama Watt

Pembaca buku-buku keislaman di Indonesia perlu berbahagia dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW beberapa hari yang lewat. Tahun ini, ada "kado istimewa" yang patut disambut khalayak pembaca Islam. Buku memikat tentang perikehidupan Nabi, Muhammad: Nabi dan Negarawan, karya W. Montgomery Watt, baru terbit dalam bahasa Indonesia.

Buku tersebut merupakan ringkasan dua buku Watt sebelumnya, yaitu Muhammad at Mecca (1953) dan Muhammad at Medina (1956). Buku yang aslinya berjudul Muhammad: Prophet and Stateman (1961) itu diterjemahkan cukup baik oleh salah seorang intelektual Indonesia, Djohan Effendi.

Penulisnya memang seorang orientalis yang sering dijuluki the last orientalist. Tapi, nada umum uraiannya tentang sejarah Nabi bernada sangat simpatik. Maklum, Watt memang mengabdikan hampir seluruh karir akademiknya untuk menjembatani dialog Islam dengan Kristen, bahkan Islam dengan dunia Barat.

Buku itu ikut menambah koleksi buku terjemahan tentang sejarah Nabi yang ditulis sarjana Barat, selain buku Karen Armstrong yang telah terbit beberapa tahun sebelumnya, Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis.

Perbedaannya, Armstong tampak ingin lebih menyelami pergulatan batin Nabi -dan karena itu dia juga memasukkan legenda-legenda yang dalam timbangan sejarah agak meragukan-, sedangkan Watt lebih ketat menapis mana yang fakta dan mana yang legenda. Kalaupun sebuah legenda dimuat, dia segera memberi catatan. Karena itu, buku Watt terkesan "lebih kering"dibandingkan buku Armstrong.

Namun, jangan khawatir. Sebab, seluruh isi buku Watt juga sedang berkisah. Lewat buku tersebut, tanpa sadar kita sedang dibawa Watt untuk mengarungi situasi pada zaman Nabi dengan segenap persoalannya.

Kita diajak menyelami kepribadian Nabi, watak dan perawakannya, kegundahan dan pengendaliannya, diplomasi dan kebijakannya, serta kedudukan dan kepemimpinannya. Pendeknya, buku itu memberikan banyak pencerahan.

Jika memakai kategori intelektual Maroko, M. Abied al-Jabiri, tentang pentingnya mempertimbangkan unsur aqîdah (ideologi), qabîlah (solidaritas sosial), dan ghanîmah (insentif ekonomi), sebagai kerangka penulisan sejarah Islam, tampaknya, Watt sudah menerapkan hal itu secara cerdas dan berhasil.

Faktor aqîdah bisa ditelusuri dari pergulatan batin Nabi dan kehadiran wahyu yang menyertai perjalannya dalam memperjuangkan Islam. Faktor qabilah tampak jelas pada uraian Watt yang sangat memikat tentang konstelasi kesukuan dan puak-puak di Makkah maupun Madinah zaman Nabi.

Sementara itu, faktor ghanîmah tampak pada beberapa penjelasan Watt soal insentif ekonomi yang diharapkan sebagian penganut Islam belakangan jika menganut Islam dan berpihak kepada masyarakat baru yang sedang dibentuk Nabi dengan penuh risiko serta rintangan.

Setelah menguraikan perikehidupan Nabi secara apik dan dengan kronologi peristiwa yang teratur, Watt menyimpulkan, "Ketika Muhammad wafat, negara yang didirikannya sudah seperti perusahaan yang sedang berjalan dan mampu menahan kejutan kepergiannya. Dan, begitu sembuh dari keterkejutan itu, ia meluas dengan kecepatan yang luar biasa (hal 327)."

Untuk mengantisipasi agar bukunya tak dijadikan bahan taklid buta oleh sebagian kaum Muslimin, Watt juga berpesan dengan sebuah pertanyaan: "Mampukah (muslim masa kini) menyaring segi-segi yang universal dari segi-segi yang partikular dalam kehidupan Muhammad, dan dengan demikian membuka prinsip-prinsip moral yang dapat memberi sumbangan kreatif terhadap situasi dunia saat ini?" (hal 324).

Ya, mungkin itulah yang dibutuhkan umat Islam masa kini. Inti agenda kita adalah: bagaimana menjadikan Nabi sebagai teladan, terutama pada aspek-aspek yang universal dan eternal dari ajarannya yang agung, sembari menafsirkan ulang aspek-aspek yang partikular dan situasional pada masanya.

Itulah pergulatan banyak ulama sejak dulu, sehingga Islam layak menjadi rahmat bagi semesta alam dan relevan untuk semua tempat dan semua zaman. (novriantoni)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 06 Apr 2007,
Negara Islam Belum Memikat

Sarjono Kartosuwiryo

Pada 1950-1960-an, hanya seperseribu rakyat Indonesia yang menerima gagasan negara Islam. Kini lebih kecil lagi: satu per dua atau tiga ribu. Demikian Sarjono Kartosuwiryo, anak kandung SM Kartosuwiryo (pendiri DI/TII), yang kini bergiat di Forum Silaturahmi Anak Bangsa kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) Kamis lalu (29 Maret) di Radio 68H Jakarta.
--------------

Beberapa waktu lalu ada sekelompok orang yang mengatasnamakan NII, yang meminta sumbangan dan melakukan beberapa penjarahan di Jawa Barat. Sebagai anak kandung almarhum SM Kartosuwiryo, pendiri DI/TII, apa tanggapan Anda?
Pertama-tama saya kaget juga ketika ada gerakan yang menamakan diri sebagai gerakan Negara Islam Indonesia (NII) sampai saat ini. Saya bertanya kepada diri sendiri, apa mungkin negara Islam dibangun di Indonesia dalam keadaan seperti ini? Sepanjang perhitungan saya dan pertimbangan akal sehat manusia, itu tak mungkin, kecuali hanya untuk menjual isu belaka.

Pada beberapa siaran media massa, saya tercengang karena ada yang menghubung-hubungkan gerakan ini dengan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) SM Kartosuwiryo. Padahal, yang namanya DI/TII Kartosuwiryo itu selesai sejak 1962.

Setelah itu, tak ada lagi gerakan yang menamakan DI/TII, baik di siaran pers maupun di tempat mana pun. Yang ada adalah gerakan sekelompok orang yang menamakan diri NII. Lalu, NII ini, terutama yang KW-IX di daerah Jakarta, mengadakan tindakan-tindakan yang abnormal, seperti tindak-tindak kriminal.

Ada berapa KW di NII saat ini?
Yang saya tahu ada sembilan. KW-I di Priangan Timur, KW-II di Jawa Tengah, KW-III di Jawa Timur, KW-IV di Sulawesi, KW-V di Aceh, KW-VI di Sumatera selain Aceh, KW-VII di Garut dan Bandung, KW-VIII di Kalimantan, dan KW-IX di Jakarta.

Nah, sampai kini gerakan ini masih hidup, independen, dan terlepas dari induknya. Dan, di antara orang-orang yang aktif di KW-IX tidak ada satu pun anak Kartosuwiryo, ataupun bekas anak buahnya. Semua adalah orang-orang baru yang mengambil isu Negara Islam Indonesia supaya produknya bisa dijual.

Sepertinya ada keterputusan ideologis antara Anda dan almarhum ayah Anda. Apa bisa disebut Anda bukan anak ideologisnya?
Bagi saya, Islam itu berasal pada suatu keinginan hidup yang mendambakan keselamatan di dunia dan di akhirat. Itulah yang selalu didengungkan para mubalig. Itu sudah merupakan cita-cita umum umat Islam. Kita ini selalu mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Nah, Kartosuwiryo ini memodifikasi model mencapai kebahagiaan itu. Dalam perjalanan hidupnya, dia memulai karir di Serikat Dagang Islam (SDI), lalu di Serikat Islam (SI), di Partai Islam Indonesia (PII), ke Masyumi, sampai kemudian mendirikan DI/TII.

Itu semua dia lakukan untuk mengangkat Islam dan bangsa Indonesia dari kondisi keterpurukan penjajahan menjadi bangsa yang terhormat di mata dunia. Tapi, sayang, pada 1962, para pengikutnya di seluruh wilayah Indonesia baru berjumlah 40 ribu dari total jumlah penduduk Indonesia yang sudah berjumlah 40 juta saat itu. Jadi, rasionya satu berbanding seribu. Itu suatu kepemimpinan yang tidak mungkin.

Akhirnya, gerakan itu berakhir pada 1962 dengan keluarnya Maklumat Imam yang menyerukan untuk mengakhiri tembak-menembak dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Ketika itu, usia saya baru lima tahun. Dan, saya dibesarkan sudah di daerah ini, di negeri ini, ketika bapak saya meninggal.

Jadi, ada modifikasi?
Ya, ada modifikasi dalam sejarah hidup Kartosuwiryo. Awalnya dia masuk di SDI, lalu SI, lalu PII. Akhirnya, dia membentuk DI/TII. Jadi, ada perkembangan mental dan keorganisasian sesuai dengan kondisinya saat itu. Begitu juga saya. Saya harus berkembang mengikuti kondisi masyarakat saat ini. Jadi, saya tetap harus bergumul dengan kondisi saat ini. Kalau tidak bergumul, perjuangan saya bisa mati.

Kita tahu, dulu ayah Anda membuat konstitusi Darul Islam yang bersifat eksklusif. Salah satu butirnya mengatakan bahwa pemimpin negara wajib Islam dan menteri-menterinya juga wajib Islam semua. Kalau dievaluasi, apakah pemikiran seperti itu perlu?
Inti pertanyaan Anda adalah: mungkin nggak saya menarik model tahun 1962 itu ke model tahun 2007, sampai ke depan? Nah, model ini sudah saya jelaskan dari awal; hanya seperseribu rakyat Indonesia yang menerimanya. Sisanya belum menerima.

Ketika itu saja, pemasarannya sudah begitu. Apalagi sekarang; angkanya pasti lebih kecil. Mungkin sudah menjadi satu per dua ribu atau satu per tiga ribu. Jadi, sesuatu yang tidak mungkin kalau kondisi masyarakat Indonesia seperti ini.

Apa itu berarti masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ingin ber-Islam secara kultural saja tanpa memaksakan ideologi Islam pada aspek kenegaraan?
Ya. Islam Indonesia itu kan Islam yang sangat awam. Orang mengartikan Islam itu hanya di KTP (kartu tanda penduduk). Memang, ada kelompok tertentu yang mempelajari Islam lebih dalam. Tapi, mayoritas umat Islam itu hanya KTP. Dan, karena itu, tidak mungkin dibangun suatu Negara Islam di atas masyarakat seperti itu.

Apakah suatu saat perlu dibangun Negara Islam di Indonesia?
Itu sama dengan pertanyaan: seandainya saat ini adalah kerajaan dinosaurus, kemudian dua ribu tahun lagi ada kerajaan kera, apakah mungkin dibangun negeri kera? Wah, itu tidak bisa saya jawab. Suatu masa yang berbeda itu tidak bisa diandai-andaikan.

Pernahkan Anda bersentuhan langsung dengan orang-orang yang masih berpikir perlunya Negara Islam Indonesia?
O, banyak. Jadi, memang mereka berpikiran ideal. Artinya, untuk mengangkat nilai-nilai Islam supaya Islam bermarwah, orang Islam diharuskan untuk mendirikan negara Islam. Mereka berpikir, kalau orangnya Islam, negara idealnya harus Islam. Itu bukan berarti bentuk negara lain tidak bisa, bisa saja, tapi itu tidak dianggap ideal.

Aspek-aspek apa yang membuat negara Islam itu mereka anggap ideal?
Yang jelas, adanya kontrol. Dalam negara kita sekarang, tidak ada kontrol dari Tuhan. Di negara Islam, setiap individu setiap hari dikontrol oleh Tuhan. Dengan begitu, dia tidak berani untuk melanggar walaupun pimpinannya tidak ada.

Saat ini asumsi seperti itu kan dianggap naïf. Setiap kekuasaan diandaikan punya potensi untuk korup. Makanya diadakan institusi pengontrol pemerintahan, seperti DPR dan Mahkamah Konstitusi.

Apakah gagasan seperti itu tidak menarik bagi yang memperjuangkan negara Islam?
Menarik atau tidak, itu bergantung pada konteks orangnya. Kalau melihat dari jumlah orang yang setuju daripada yang tidak setuju negara Islam, sekarang (yang setuju) memang masih sangat kecil, yaitu di bawah 10 persen.

Jadi, gagasan negara Islam belum menarik atau belum memikat?
Ya. Sebab, tidak ada bukti yang nyata bahwa negara Islam mampu memberikan jawaban atas tuntutan-tuntutan masyarakat. Ketika suatu masyarakat berpikir terhadap negara Islam, mestinya dia minta tuntutan, dong! Saya mau sekolah, tapi sekolah di mana? Saya mau kerja, tapi kerja di mana? Kalau itu tidak bisa dijawab, (gagasan itu) akan ditinggalkan.

Berarti ada aspek praktis yang juga harus ditanggulangi oleh para ideolog negara Islam sekalipun?
Ya. Dalam tataran tekstual, memang itu (negara Islam) sesuatu yang ideal. Tapi, itu tidak bisa diterapkan dalam masyarakat yang tidak ideal. Kemiskinan dan kebodohan itu harus dilepaskan dulu. Jadi, masyarakat harus dipintarkan dulu biar tidak bodoh lagi, biar tidak miskin. Orang yang miskin itu tidak peduli terhadap negara Islam atau tidak.

Apakah saat ini Anda punya ideologi yang berseberangan dengan almarhum ayah Anda?
Masalah ideologi itu kan rumusan tentang suatu cita-cita. Kita pengin begini, mimpi begini. Saya rasa, saya tidak pernah berseberangan dengan bapak saya. Jangankan dengan bapak saya, dengan seluruh umat Islam di dunia juga saya tidak pernah bisa berseberangan. Saya hanya menginginkan keselamatan di dunia dan di akhirat.

Problemnya, ada beberapa paket untuk selamat dunia-akhirat. Yang minimal adalah paket menjalankan segenap rukun dan ajaran Islam, tanpa harus diurus negara sekalipun. Tapi, ada juga yang ingin paket maksimal atau kaffah.

Paket mana yang Anda pikirkan?
Paket saya adalah paket yang minimal tapi kaffah. Ketika semua persyaratannya sudah kaffah, suatu dosa kalau kita tidak melakukannya. Ketika kita sudah punya waktu, ketika sudah mengambil wudu, tapi tidak melakukan salat, itu adalah suatu dosa. Begitu juga dengan yang lain-lain.

Tapi, contoh salat itu kan sederhana. Tanpa diurus negara, kita bisa salat di mana pun, bisa wudu di mana pun; yang penting ada airnya. Dan, kalau tidak ada air pun, kita bisa tayamum.... (novriantoni)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 13 Apr 2007,
Hengkang dari Ideologis Fasis

Banting setir ideologi dapat saja terjadi pada kelompok radikal agama bila orangnya giat melakukan refleksi kritis atas kiprah mereka. Itulah pengalaman Mariana Amiruddin, redaktur Jurnal Perempuan, yang dituturkan kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Radio 68H, 5 April lalu.
----------

Bagaimana agama dikenalkan kepada Anda sejak kecil?
Tidak ketat. Bahkan, untuk salat pun, saya tidak pernah dipaksa orang tua. Pendidikan agama pun diserahkan ke sekolah. Orang tua hanya mengajarkan tentang kebaikan dan memberi tahu bahwa saya beragama Islam. Saya juga tidak disekolakan ke madrasah. Guru ngaji memang didatangkan. Tapi, itu jadi bagus karena saya bisa mengerti huruf Arab.

Pengaruh lingkungan dalam membentuk corak keberagamaan, bagaimana?
Saya cenderung antisosial dan tak peduli. Yang menentukan lingkungan waktu itu kebetulan memang agama. Dan, agama yang saya pilih adalah Islam dan karena itu saya lebih mengerti tentang apa yang harus dilakukan dalam bidang itu. Tapi, waktu kelas III SMA, saya mulai memilih kelompok tarbiyah dan mulai mengenakan jilbab.

Itu terjadi sekitar 1990-an. Waktu itu mengenakan jilbab memang tidak dibolehkan di sekolah umum. Semua diseragamkan sekolah. Tapi, dengan begitu, saya justru ingin tampil beda dari anak-anak di sekolah. Saya pikir, jilbab waktu itu adalah sebuah simbol pernyataan diri atau identitas.

Bagaimana nuansa keagamaan di sekolah-sekolah umum saat itu?
Unik. Saya bergairah mengikuti rohis (rohani Islam) karena ada ruang kontemplasi yang saya tidak temukan di televisi dan teman-teman yang suka dugem atau jalan-jalan. Saya justru menemukan kepuasan spiritual di sana.

Saya dulu kan tidak peduli dengan orang lain dan egois. Beranjak dari rohis itu, saya bertemu dengan kelompok-kelompok tarbiyah. Ada halaqah dan segala macam kegiatan.

Tapi, saya tidak cepat puas. Karena ketidakpuasan, saya mulai mencari perbincangan tentang isu-isu perempuan.

Adakah titik balik cara pandang Anda terhadap agama di kemudian hari?
Ya dan itu karena kekecewaan. Saya kan orang sangat idealis. Ketika tak menemukan yang ideal di sana (gerakan tarbiyah), saya mencari yang lain, tapi masih dalam aspek yang sama, yaitu Islam. Waktu juara lomba karya tulis itu, saya didatangi seseorang yang mengajak aktif di halaqah dia.

Dulu saya juga sempat ikut ICMI Orwil Jakarta. Nah, orang itu mengajak saya untuk membuat kajian teoretis-analitis tentang Islam dan kenegaraan.

Ternyata, setelah datang beberapa kali, tiba-tiba saya dibaiat dan diminta berganti nama menjadi Fatimah Azzahra. Di situ saya kemudian menemukan agama bisa menggunakan logika lebih banyak.

Saya diajak berpikir tentang bagaimana Islam di Makkah dan mengapa Nabi hijrah ke Madinah; bagaimana Tuhan dan lain-lain. Analogi-analogi itu, menurut saya, bisa masuk akal.

Seperti apa ikrar baiat ketika itu?
Aduh, saya lupa. Tapi, sifatnya agak militeristis. Loyalitas ditujukan hanya kepada Rabb. Tapi, Rabb yang mereka pikirkan bukan hanya sesuatu yang imajiner, tapi nyata: berupa negara. Kita diajak hijrah dari Makkah ke Madinah, dari jahiliah ke Islam.

Saya merasa menjadi orang yang disucikan, atau dalam istilah mereka, sudah tazkiah. Di situ banyak masalah unik yang saya temukan. Menarik juga sih untuk ukuran waktu itu.

Tapi, lama-lama kok ada tugas macam-macam seperti tugas kenegaraan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Mereka menyebut tugas itu untuk memperjuangkan tegaknya Negara Islam Indonesia (NII). Bagi mereka, di Indonesia itu sebenarnya ada dua negara: RI dan NII.

Ada yang aktual dan ada yang sedang diimpikan. Mereka mengklaim, ketika sudah berganti nama menjadi Fatimah Azzahra, saya sudah hidup di negara yang diimpikan itu (NII).

Adakah hak-hak Anda yang diakui di negara impian itu?
Kalau dihitung-hitung, yang ada kewajiban semua. Jadi, harus membayar infak lah, merekrut orang lah. Setiap bulan saya harus merekrut orang dan selama seminggu diusahakan mendapatkan sebelas orang. Saya sampai turun ke Terminal Pulo Gadung untuk mencari orang yang bisa ditarik ke NII.

Untuk beberapa orang, saya berhasil. Ada sopir Metromini, beberapa mahasiswa, dan sebagian pelajar yang sampai dicari-cari kepala sekolahnya yang berhasil saya rekrut. Pokoknya, militansi saya luar biasa.

Saya berpikir, kalau ingin bikin revolusi, memang harus begitulah caranya. Saya bekerja hampir tanpa pamrih. Tidak ada hak sama sekali, kecuali kepuasan hati. Itu justru dianggap kepahlawanan dan pengabdian kita terhadap negara yang kita impikan.

Apakah juga ada iming-imingnya?
Ya, banyak sekali. Misalnya, kalau NII sudah futuh atau menang dan RI kalah, kamu akan mendapatkan surga sebagaimana yang digambarkan Alquran. Waktu itu, saya berpikir "boleh juga, ini!" Makanya, saya bisa bertahan sampai lima tahun.

Kapan Anda berpikir itu hanya ilusi, lalu banting setir ke persoalan lain?
Ketika mulai melihat ada ideologi yang fasistik di situ. Manusia benar-benar tidak dilihat keberadaannya. Jadi, apa pun yang dikatakan pimpinan kita, kita harus sepenuhnya nurut. Disuruh membunuh orang, kalau perlu, ya bunuh orang. Mencuri, kalau perlu, ya mencuri.

Saya akhirnya sempat mencuri untuk membayar infak. Itu fakta, bukan omong kosong. Yang tidak fair dari gerakan ini: kita selalu dikasih mimpi terus, sama dengan sinetron Hidayah.

Sejak kapan Anda merasa ada yang tidak beres dalam utopia Anda itu?
Pada tahun keempat dalam gerakan. Tahun kelima saya keluar. Itu terjadi saat masih kuliah dan menjelang skripsi. Skripsi saya betul-betul belang-blentong. Tapi, setelah pelan-pelan keluar, akhirnya beres juga skripsi itu.

Sejak itu saya langsung melakukan titik balik. Saya pergi dan tak peduli lagi dengan banyak orang yang mencari. Saya mulai masuk teater Taman Ismail Marzuki. Dan, justru di situlah saya merasakan diri saya sebenarnya.

Apa yang berbeda dari yang Anda rasakan setelah hengkang itu?
Saya merasakan dunia lebih ramah. Saya sudah masuk di fase sebelumnya yang terisolasi. Makanya, saat masuk fase keterbukaan, keragaman, kok saya justru diterima dan merasa jadi diri sendiri.

Akhirnya saya mengekspresikan perasaan itu lewat seni dan teater. Saya sempat ngamen di jalan, nyanyi-nyanyi, dan lain sebagainya. Di situ saya merasakan kehidupan yang sebenarnya.

Ketika memutuskan keluar dari NII, Anda tak takut akan disanksi?
Nggak sama sekali. Semua adalah ilusi. Saya tak pernah mendapat teror. Sampai sekarang saya kira gerakan ini masih ada, tapi under ground. Karena sebagai perempuan, keanggotaan saya hanya sampai level umat. Hanya laki-laki yang bisa menjadi pemimpin.

Karena itu, informasi tentang sistem NII sangat tertutup bagi saya. Saya agak kaget dengan temuan-temuan intelijen tentang kasus terorisme saat ini karena mereka juga memakai sistem sel seperti NII.

Jadi, Anda di pinggiran saat itu?
Ya. Saya tak bisa masuk ke dalam. Dan, begitu keluar, saya tidak lagi bisa menemui mereka dan mereka pun seperti raib entah ke mana. Memang, sempat juga kami digerebek polisi ketika bikin rekrutmen di base camp Bekasi. Polisi sebenarnya tahu itu, tapi kucing-kucingan saja.

Apakah orang tua ikut mengamati perubahan-perubahan Anda?
Jelas. Waktu saya masuk rohis, saya sudah diamati, terutama soal pakaian. Pernah juga saya ditegur teman, "Kok jilbabnya makin panjang?!" Saya mengamuk, "Emang-nya apa urusan Anda?!"

Banyak sekali waktu itu kejadian yang membuat saya cepat marah. Disenggol sedikit langsung marah. Waktu itu, saya memang sangat emosional. Tapi, pelan-pelan, ketika masuk ke fase baru, perkembang emosi dan pikiran saya langsung melejit. Kreativitas makin tumbuh.

Ending dari proses "hijrah" Anda itu apa?
Sampailah ketika saya masuk Program Pascasarjana Kajian Wanita Universitas Indonesia. Di situ saya makin menemukan jati diri saya sebenarnya.

Saya tak lagi menyandarkan diri pada sistem, perintah, atau pimpinan. Saya lebih bersandar pada diri sendiri. Saya kemudian menemukan teori yang cocok untuk diri saya sendiri.

Akhirnya, saya masuk Jurnal Perempuan dan di situ bisa melihat banyak orang dari atas. Rupanya, banyak juga orang yang punya sejarah hidup seperti saya. Banyak ilusinya; banyak utopia yang sama sekali tidak riil. Tapi, saya tidak menyesali pengalaman itu karena itu merupakan bagian dari perjalanan hidup saya. Saya menjadi tahu banyak. (novriantoni)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 20 Apr 2007,
Perihal Sertifikasi Halal

Din Syamsuddin, fungsionaris MUI, baru-baru ini menyatakan bahwa di antara sekitar 100 ribu produk makanan, obat, dan kosmetik yang beredar di pasaran Indonesia, hanya 84 persen yang mempunyai sertifikat halal. Selebihnya masih abu-abu.

Karena itu, dia mendesak pemerintah agar serius mengatasi masalah tersebut. Dia mengatakan, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, sudah semestinya pemerintah memperhatikan dengan sungguh-sungguh masalah halal dan haram itu.

Pernyataan Din itu memperlihatkan dengan jelas bahwa MUI, lembaga tempat dia duduk sebagai tokoh yang cukup penting di sana, menghendaki seluruh makanan, obat-obatan, dan kosmetik yang dijual di pasar Indonesia mempunyai sertifikat halal.

Komentar Din itu patut dipikirkan masak-masak karena mengandung asumsi dan implikasi yang harus diuji ketepatannya. Pertanyaan pertama yang langsung muncul ialah apakah makanan dan obat-obatan yang menurut kepercayaan umat Islam dianggap haram tidak boleh diperjualbelikan di pasar? Apakah daging binatang yang jelas-jelas haram, seperti babi, tidak boleh diperjualbelikan?

Umat Islam tentu memiliki hak sepenuhnya untuk menikmati produk halal sebagai konsekuensi dari kepercayaan yang dianutnya. Tetapi, pada akhirnya, masalah halal dan haram adalah kepercayaan umat Islam, bukan kepercayaan seluruh penduduk Indonesia.

Meski umat Islam adalah penduduk mayoritas, jelas bahwa Indonesia bukanlah sebuah negeri yang hanya dihuni masyarakat Islam. Indonesia adalah negara yang dimiliki semua kelompok negara.

Masyarakat muslim harus bisa membedakan dua kategori: "sehat" dan "halal". "Sehat" adalah kategori yang relevan untuk seluruh masyarakat Indonesia, baik muslim atau nonmuslim. Sementara kategori "halal" hanyalah relevan secara terbatas untuk umat Islam.

Tugas pemerintah sebagai institusi yang menaungi semua kelompok umat beragama hanyalah menjamin status kesehatan makanan. Masalah halal dan haram adalah urusan dapur umat Islam sendiri.

Adalah sama sekali tidak fair jika, misalnya, seorang pengusaha yang bukan muslim diharuskan pemerintah mencantumkan label halal karena itu bukan bagian dari kepercayaan dia. Pemerintah mempunyai kewajiban menghukum suatu perusahaan yang menjual produk makanan yang secara higienis mengancam kesehatan konsumen. Sebab, aspek higienis suatu produk makanan adalah common denominator yang menyamakan seluruh konsumen dari agama apa pun.

Pemerintah tidak bisa diminta oleh umat Islam untuk mewajibkan perusahaan mencantumkan label halal, karena itu hanyalah masalah internal umat Islam sendiri. Paling jauh, perusahaan hanya bisa diminta mencantumkan daftar seluruh bahan (ingredients) suatu produk makanan. Tetapi, meminta mereka mencantumkan label halal adalah berlebihan dan tidak tepat dalam kerangka negara plural seperti Indonesia.

Setelah melihat daftar bahan-bahan itu, keputusan diserahkan sepenuhnya kepada konsumen muslim sendiri: dia boleh beli, boleh tidak. Dalam Islam, seorang muslim tidak bisa dikenai hukuman apa pun karena membeli makanan yang haram. Soal dosa, itu urusan yang bersangkutan.

Tetapi, dari segi hukum publik, seseorang tak bisa dihukum karena membeli makanan yang haram. Sementara itu, pemerintah juga tidak bisa mewajibkan semua perusahaan hanya menjual produk yang halal. Bahkan, dalam hukum Islam sendiri tak dikenal aturan "aneh" semacam ini.

Jika suatu perusahaan ingin menjaring konsumen muslim lalu dengan sukarela mencantumkan label halal, itu hak yang bersangkutan. Tetapi, jika pencantuman itu diharuskan oleh negara seperti naga-naganya dikehendaki MUI, maka itu jelas tidak tepat.

Langkah yang paling tepat bagi masyarakat Islam adalah berkampanye untuk konsumen muslim agar mengonsumsi produk halal. Jika umat Islam terbujuk oleh kampanye itu, lalu terbentuk pasar "produk halal" yang cukup besar, dan memaksa perusahaan secara sukarela mencantumkan label halal dengan sendirinya, itulah proses demokratis dan "alamiah" yang wajar.(ulil abshar-abdalla)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 20 Apr 2007,
Kontroversi dalam Suasana Paskah

Kontroversi penemuan "makam" Yesus mengusik perayaan Paskah tahun ini. Berikut tanggapan Pdt. Martin Lukito Sinaga, dosen di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) Kamis lalu (12/4), di Kantor Berita Radio (KBR) 68H Jakarta.



Pada Paskah tahun ini, umat Kristen dihebohkan oleh kontroversi penemuan "makam Yesus" lewat buku James D. Tabor berjudul The Jesus Dynasty. Apa komentar Anda?

Ini soal yang tidak mudah. Tapi, saya ingin sedikit mundur ke belakang. Setahun terakhir, kekristenan sudah dirundung rasa bingung oleh The Da Vinci Code -novel yang sangat laku dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Sekarang, menjelang Paskah, kita dikejutkan lagi oleh buku James D. Tabor, Ketua jurusan keagamaan Universitas North Carolina di Charlotte, AS, dan tulisan Pdt. Ioanes Rakhmat mengenai kontroversi penemuan makam keluarga Yesus itu. Di kotak makam Talpiot itu dikatakan terdapat tulang-belulang yang menurut penulisnya menunjuk ke tulang Yesus dan trahnya.

Di lingkungan jemaat Kristen, kontroversi ini tentu menimbulkan kebingungan dan pertanyaan. Ini tecermin pada banyaknya pesan pendek (SMS) yang saya terima dari GPIB, GKI, dan gereja saya sendiri. Mereka bertanya: Apa maksudnya? Mana yang benar? Setiap Minggu, kita di gereja mengatakan "aku percaya pada kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, dan aku percaya pada kebangkitan daging".


Jadi, bukan hanya kebangkitan rohani, tapi ragawi juga?

Ya, bukan sekadar roh, tapi Credo in Carnis Resurectionem (doktrin kebangkitan daging). Jadi, buku dan tulisan itu menohok dan mengagetkan. Mengagetkan karena memang jemaat sama sekali tak mengerti, baik duduk perkara tulisan Ioanes Rakhmat itu maupun temuan para ahli yang sebenarnya masih kontroversial itu.

Ketika jemaat ingin lebih spiritualistis menghayati Paskah, tiba-tiba mereka menerima data-data kontroversial. Dan lembaga STT (Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta) tempat saya mengajar, dipertanyakan; masak mendidik mahasiswanya dengan dosen yang mengajarkan hal seperti ini. Bahkan, ada yang mengatakan, "Sudahlah, tidak usah menyekolahkan anak ke situ lagi!"


Apakah umat Kristen tak bisa menghayati Paskah dengan paham bahwa yang bangkit itu hanya rohnya Yesus, bukan sekaligus daging-Nya?

Mengenai Yesus sendiri, dalam Alkitab dikatakan bahwa ketika bangkit, Ia justru menampakkan diri-Nya kepada orang-orang. Bahkan, Ia meminta Thomas untuk memasukkan tangannya di lubang bekas paku yang dialaminya ketika disalib.

Lalu Yesus makan bersama mereka setelah Dia bangkit. Jadi, ada momen yang lebih dari sekadar hal subjektif. Ada momen penampakan. Dan penampakan ini lebih dari sekadar soal spiritualitas. Ini sesuatu yang total. Ini terkait dengan kehadiran.


Tapi kalangan peneliti Yesus sejarah ingin merasionalisasi makna kebangkitan itu. Temuan mereka ini, kalau terbukti benar, mengonfirmasi bahwa kebangkitan itu bersifat metaforis saja. Tanggapan Anda?

Ya, itu memang pendapat para scholar atau para sarjana Yesus sejarah. Tapi kalau kita amati perjalanan keilmuan Yesus sejarah, kita tahu bahwa buku Tabor ini justru memberikan ucapan selamat kepada Albert Schweitzer (1875-1965), seorang ahli Yesus sejarah. Nah, selama ratusan tahun mereka sudah berupaya menemukan siapa Yesus sebenarnya.

Bagi para ahli pencerahan, Yesus itu tak mungkin punya mukjizat. Bagi para ahli teologi pembebasan, Yesus itu adalah Che Guevara; Yesus seorang Marxis. Ketika penelitinya seorang Amerika yang berangkat dari kelas menengah borjuis, ia menyimpulkan bahwa Sang Yesus adalah sang bijak sebagaimana Buddha yang senantiasa memberikan ceramah-ceramah pencerahan batin.


Anda ingin mengatakan bahwa para peneliti itu sembrono menjustifikasi hipotesis mereka?

Kalau kita lihat sejarah hampir dua ratus tahun penelitian Yesus sejarah, tampaknya seperti itu. Para ahli pencerahan yang tidak percaya mukjizat membuktikan bahwa memang benar mukjizat itu tidak ada.

Lalu, orang Amerika yang borjuis mengatakan bahwa Yesus adalah seorang bijak seperti Sang Buddha. Itu karena kebetulan mereka lagi gandrung dengan Buddhisme.

Nah, temuan itu semua adalah gejala-gejala yang mestinya membuat kita harus lebih arif untuk mengatakan bahwa "penemuan-penemuan" tentang Yesus itu adalah spekulatif. Injil memang bukan tulisan sejarah.

Karena itu, ketika orang akan menembus di belakang Injil, maka akan terjadi loncatan-loncatan hipotesis. Nah, hipotesis-hipotesis itu bercorak sangat kontekstual. Jadi, hipotesis itu terkait dengan latar belakang budaya dan sebagainya.


Bukankah yang memahami Yesus bangkit secara faktual ke langit yang justru memaksakan literalisme kitab suci dan menjadikannya sebagai fakta sejarah, berkebalikan dengan para peneliti Yesus sejarah itu?

Saya kira, argumen Anda ada benarnya. Tapi seharusnya para arkeolog itu juga mesti lebih rendah hati dengan mengatakan "tidak tahu" daripada menambah spekulasi dengan mengatakan bahwa Yesus adalah orang yang ingin mendirikan kerajaan seperti Daud. Kan begitu alur buku Tabor! Menurut dia, Yesus adalah orang yang ingin mendirikan dinasti dan punya istri. Dari mana data itu ia dapat selain hipotesis?

Misalnya, dalam buku Tabor dikatakan telah ditemukan kotak kuburan bernama Yesus; lalu ada Yakobus. Lalu ada kotak lain lagi yang berisi kain kafan. Lalu ada Maria. Kemudian, kata Tabor, itu semua dicuri. Harusnya, semua ada dalam satu kotak. Lho, tahu dari mana dia kalau itu harusnya satu kotak? Jadi itu hipotesa saja.

Dan masalah ini sempat masuk ke pengadilan Israel. Yang punya kotak adalah pedagang barang antik yang memalsukan tulisan dan divonis bersalah. Lalu dia naik banding dan menganjurkan perlunya tes DNA. Wah, sekarang tes DNA kasus Munir saja kesulitan, apalagi kasus Yesus.

Karena itu, baiklah ini menjadi percakapan para akademisi di ruang terbatas para spesialis; tidak perlu dijadikan konsumsi publik. Untuk sampai pada kesimpulan seperti ini, publik gereja membutuhkan perjalanan keilmuan yang panjang sekali.


Apakah mengisolasi pandangan baru itu dimungkinkan di abad teknologi informasi ini? Mengapa mereka tak boleh mengumumkan "penemuannya"?

Masalahnya, ketika koran mengutarakan tema-tema spesial akademisi yang kontroversial dan debatable, pembacanya yang sebagian adalah warga gereja itu maunya headline saja. Akibatnya, mereka langsung pada kesimpulan: what’s wrong with our faith? what’s wrong with STT, sebuah institusi yang mendidik orang seperti itu?!


Apa dampak penemuan yang memang belum pasti kebenarannya itu terhadap doktrin kekristenan selama ini?

Daripada kita berspekulasi, mungkin mendingan saya meminjam istilah seorang pemikir besar, Rudolf Bultmann. Dia orang yang konsisten menemukan Yesus dan mengatakan bahwa dia tak menemukan apa-apa dari orang ini selain soal orang yang disalibkan, lalu mengajarkan kerajaan Allah. Dia mengatakan, orang akan sampai kepada iman bukan karena sesuatu yang historis.

Dan Tabor pun sebetulnya ingin mengatakan bahwa kita harus membedakan antara studi historis dan studi teologis. Dengan itu, masalah penemuan historis ini tak terlalu perlu dipusingkan walau kadang ada kaitannya ketika iman Kristiani ingin didefinisikan.(novriantoni)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 27 Apr 2007,
Kartini Korban Bangsawan Tipuan

Kartini adalah pejuang emansipagi bagi perempuan. Namun, Kartini juga korban kekerasan. Bagaimana memahami sosok Kartini ini, berikut petikan wawancara Kajian Islam Utan Kayu dengan Eva Kusuma Sundari, aktivis perempuan dan anggota DPR di Kantor Berita Radio (KBR) 68H, Jakarta.

Bagaimana Anda memahami sosok Kartini?
Dia adalah humanis dan tokoh perempuan nasionalis pertama. Nuraninya digerakkan ketika melihat dikotomi-dikotomi kemanusiaan di masyarakat. Surat-surat yang dia tulis menampilkan sosok Kartini yang gelisah. Kenapa inlandeer (pribumi) mempunyai nasib bodoh, miskin, dan sebagainya. Sementara yang white colour people, yang kolonial kok nasibnya baik.

Demikian juga kenapa harus ada kelas laki-laki dan perempuan: laki-laki bisa sekolah, tidak diharuskan kawin muda, tidak dipingit, dipoligami sebagaimana perempuan di zamannya. Sebagai tokoh humanis, dia melihat problem-problem kemanusiaan. Misalnya, kaum perempuan waktu itu mendapatkan lapis-lapis kelas marginalisasi yang bersusun-susun tebal.

Dia adalah inlandeer, dalam lingkungan inlandeer sendiri ada diskriminasi dari pihak laki-laki karena masyarakat kita masih feodal dan patriarkis. Saya melihat Kartini bukan sekadar sebagai tokoh feminis dan emansipasitoris. Lebih dari itu dia ialah tokoh kemanusiaan dan kebangsaan.

Apa kesadaran kebangsaan itu muncul ketika dia menyadari sebagai pribumi?
Iya. Sebagai pribumi kenapa tidak punya hak apa-apa atas buminya sendiri. Kenapa tidak mempunyai kekuasaan atas tanah sendiri. Kenapa harus membayar pajak pada bangsa penjajah. Kenapa tidak memiliki akses yang luas terhadap pendidikan.

Kenapa pula pendidikan hanya diperuntukkan pada kelas ningkrat, sementara rakyat jelata tidak. Itulah kegelisahan-kegelisahan dia. Isu-isu yang dia kemukakan sangat manusiawi.

Sebagai perempuan, bagaimana Anda melihat sosok Kartini?
Kontribusi terbesar dia membuka kesadaran kita. Kesadaran perjuangan terhadap keadilan, kesataraan, pandangan serta tindakan yang manusiawi, dan sebagainya.

Sayang cara kita memperingati Hari Kartini seperti kembali ke belakang, seremonial. Memuja-muja Kartini. Buat apa kita muja-muja dia? Dia tidak perlu dipuja-puja. Yang penting kan tindak lanjutnya. Sekarang tantangan kita ialah apa yang akan kita lakukan setelah kesadaran itu dibuka Kartini.

Terutama terhadap kaum perempuan sendiri ya?
Ya, tentang status perempuan, tentang nasib, dan implikasi status itu terhadap ekonomi, politik, dan hak akan pendidikan. Sebetulnya contoh dari Kartini yang mampu kita teladani sekarang adalah dia yang berani melawan hegemoni yang dicoba ditanamkan oleh lingkungannya.

Dalam buku yang ditulis Pramudya Ananta Toer Panggil Aku Kartini Saja, menunjukkan Kartini tidak mau dianggap sebagai seorang bangsawan, sebagai raden ajeng. Mengapa dia melawan tradisi itu?

Berarti dia sadar gelar bangsawan hanya tipuan?
Ya. Dia sadar hal itu. Dia dilabeli sebagai raden ajeng, tapi dia tidak pernah mendapatkan hak istimewa. Dia malah dikawinkan paksa oleh amtenaar (bupati).

Jadi apa gunanya label ini? Yang ada malah membatasi kebebasan dan keinginan dia untuk sekolah ke Belanda dan Betawi. Seperti halnya perempun sekarang, dilabeli tiang bangsa, dilabeli pendidik utama, tapi nasibnya kok jelek banget. Ini warisan pendidikan kita yang tidak benar sampai sekarang.

Namun sebagai bangsawan, Kartini mendapat kesempatan pendidikan yang tidak dirasakan kalangan jelata?
Ya. Dia mendapatkan hak itu, tapi tidak efektif kan? Karena dia dipaksa kawin.

Pram menyebut Kartini lepas dari jebakan provinsialisme ketika memberikan beasiswa kepada Agus Salim yang dari Sumatera Barat.
Betul sekali. Sikap Kartini itu bisa menjadi kritik terhadap kesadaran kebangsaan yang menipis saat ini. Sebab, banyak dari kita yang terjebak pada isu kedaerahan.

Kartini lahir dalam keluarga yang berpoligami. Setelah ibunya melahirkan, dia harus pisah, karena ibunya bukan ningrat. Bagaimana Anda melihat kehidupan sosok Kartini seperti itu?
Tentu saya sedih. Kartini korban dari praktik dominasi dan marginalisasi yang berlapis-lapis, baik sebagai anak maupun perempuan dewasa. Proses kreatif Kartini dan rasa kemanusiaannya berpangkal dari kekerasan yang dialami sebagai anak. Hidup Kartini menunjukkan pada kita bahwa dalam masyarakat feodal dan patriarkhis, semua social cost-nya yang menanggung adalah perempuan dan anak-anak.

Pada zaman Kartini, poligami itu didasarkan doktrin agama Islam. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya tidak rela kalau Islam direduksi maknanya yang membawa keadilan dan kebebasan kepada makna yang sesungguhnya mengerdilkan Islam itu sendiri. Islam menjadi norak.
Padahal, Islam itu menjamin kesetaraan. Di hadapan Tuhan itu hanya takwanya yang membedakan. Tidak ada yang berbasis gender. Muslim itu syarat pertamanya harus cerdas, jangan taklid.

Ada tudingan ide-ide Kartini yang sangat maju karena dia lebih terpengaruh oleh ide-ide Belanda, bukan dari Nusantara. Tanggapan Anda?
Saya tidak setuju ide tentang egalitarianisme atau humanisme itu selalu datang dari Barat. Di Indonesia, dalam Islam, misalnya, aspek-aspek itu ada. Hanya tidak pernah dielaborasi.

Agama dari dulu sampai saat ini dijadikan alat tunggangan untuk dominasi. Tidak bisa mendominasi orang lain, maka istri dan anak-anaknya yang menjadi korban. Untuk mengelaborasi aspek-aspek kesetaraan dan humanisme itu, harus ada demokratisasi dalam Islam.

Kita hanya telat, bukan tidak punya. Tapi, kalau cara-cara keislaman masih memosisikan perempuan di kelas dua, perempuan hanya objek, komoditas, hanya pabrik untuk anak, berarti kita melanjutkan zaman jahiliyah yang tidak ada kemajuannya bagi peradaban.

Itu menunjukkan ide-ide Kartini berbasis pada dirinya sendiri dan bukan karena pengaruh Barat?
Sama sekali tidak. Basisnya pengalaman dan pengamatan dia. Bagaimana sensitivitasnya mampu merasakan kejanggalan-kejanggalan yang dialami sendiri, seperti dipingit, dikawinkan muda, dan sebagainya.

Kartini mengkritik feodalisme Jawa, tanggapan Anda?
Jawa itu stratifikasi sosialnya juga banyak. Kalau saya ditanya, Jawa Pesisir sangat egaliter, kebetulan Kartini hidup di masyarakat Jawa yang penuh tipu-tipu dan norma-norma yang membelenggu.

Jadi, norma Jawa itu seperti Islam sangat beragam, dan bergantung kita mau pilih yang mana. Contohnya dari doktrin Islam itu mau diambil yang menjustifikasi poligami atau yang membebaskan perempuan.

Seperti halnya Soeharto, mengambil nilai-nilai Jawa yang bisa untuk mendominasi dan melanggengkan kekuasaan. Tapi, ada juga nilai-nilai Jawa yang digunakan untuk pembangkangan atau pemberontakan terhadap dominasi.

Kartini tak hidup pada lingkungan agama yang kuat, namun mampu memahami makna agama dengan baik. Mengapa hal itu terjadi pada Kartini?
Kartini sampai pada tingkat substansi, bukan lagi pada bungkus. Misalnya, substansi agama itu adalah welfare (kesejahteraan). Agama itu mendorong perempuan agar tidak bodoh dan miskin.

Misal lain, mencuri dan korupsi itu dilarang. Di semua agama ajaran itu ada. Karena itu, agama adalah sumber perilaku kita, bukan sebagai alat propaganda untuk mencari kekuasaan.

Orang beragama membawa misi kebaikan di dunia. Di setiap agama, potensi itu ada. Tapi, kacaunya tiap agama kan ada saja yang menggunakan untuk mencari kekuasaan sehingga kerusakan yang dia timbulkan. (M. Guntur Romli)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 04 Mei 2007,
NU v Gerakan Trans-Nasional

Baru-baru ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) mengeluarkan seruan penting, sebagaimana dilansir NU Online, 24 dan 25 April 2007. PB NU meminta masyarakat Indonesia berhati-hati terhadap gerakan trans-nasional yang berkembang di Indonesia. Gerakan itu dinilai berpotensi menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.

Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi menyebut beberapa organisasi dan gerakan keagamaan seperti al-Qaidah sebagai bagian dari international political movement (gerakan politik dunia) yang tak punya akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia.

Menurut Hasyim, organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sekadar sebuah ideologi politik, bukan jalan hidup.

Lebih jauh, Hasyim menengarai bermunculannya tendensi formalisasi agama sebagai indikator gerakan mereka. Padahal, tegas Hasyim, yang perlu dilakukan mestinya bukan formalisasi, melainkan substansialisasi agama.

Kiai Hasyim pun gerah terhadap tindakan mereka yang menghujat kebiasaan amaliah-ritualistik warga NU. Mereka itu, tandas Hasyim, juga telah mengambil-alih masjid-masjid yang dulu didirikan warga NU. Hasyim meminta warga NU menjaga masjid-masjid tersebut agar tak dijadikan pangkalan untuk menyerang NU dan republik.

Untuk mengantisipasi pergerakan mereka, demikian Hasyim, sekurangnya ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, pemantapan ideologi negara Pancasila. Semua gerakan politik di negeri ini harus berasas Pancasila, bukan yang lain. Kedua, perlunya mengukuhkan sendi-sendi Islam moderat hingga ke level bawah masyarakat. Islam moderat inilah yang berpandangan toleran (tasamuh) terhadap pluralitas yang ada di Indonesia.

Sebagai orang yang terlahir dari kultur NU, saya memahami kegelisahan PB NU tersebut. Taushiyah itu kiranya tak mengada-ada. Ia disusun setelah memperhatikan data-data empiris, bukti-bukti otentik, dan laporan dari para kiai NU di daerah-daerah. Dan kewaspadaan NU cukup beralasan karena kaum nahdliyyin tak rela Indonesia dalam petaka.

Semua tahu, NU adalah salah satu ormas keagamaan yang ikut mendesain berdirinya republik ini. Indonesia tegak, salah satunya, karena darah dan air mata para kiai dan warga nahdliyyin. Kaum nahdliyyin berjuang memanggul bambu runcing dan tongkat untuk mengenyahkan para penjajah. Kaum nahdliyyin bukan hanya berkorban harta, bahkan jiwa pun mereka pertaruhkan untuk rumah bernama "Indonesia".

Demikian besar pengorbanan banyak orang demi tegaknya Indonesia. Karena itu, wajar kalau NU geram terhadap sejumlah organisasi yang baru muncul seumur jagung dan berpretensi ingin mengubah ideologi negara. Sudah berkali-kali para kiai NU menegaskan Indonesia dengan Pancasila dan NKRI-nya merupakan keputusan final.

Bagi NU, Pancasila bukanlah ideologi transisi yang secara terpaksa diterima karena politik belum memungkinkan tegaknya ideologi definitif; ideologi Islam misalnya. Ada konsensus di kalangan NU bahwa ideologi Pancasila bagi Indonesia adalah qath’i.

Karena itu, siapa pun yang ingin mengubah Pancasila dan NKRI, langsung atau tidak langsung, akan berhadapan dengan ormas keagamaan terbesar itu. Keinginan Hizbut Tahrir membentuk khilafah Islamiyah, suka atau tidak suka, akan bertubrukan dengan sikap para kiai NU. Begitu juga kehendak ormas-ormas kecil untuk menyulap Indonesia menjadi negara Islam.

Sebagaimana NU, kita juga menghendaki berlanjutnya Indonesia sebagaimana dikehendaki para founding father & mother bangsa ini. Untuk itu, komitmen kebangsaan dan ketundukan semua warga negara terhadap ideologi Pancasila, UUD 1945, dan NKRI mutlak diperlukan. Pengabaian terhadap ideologi negara bisa saja mengantarkan Indonesia ke proses balkanisasi.

Jika itu yang terjadi, Indonesia bukan hanya akan tersisa dalam buku-buku sejarah karena sosoknya sudah ilang kerta ning bumi, tapi konflik antaranak bangsa pun bisa jadi tak terelakkan. Kita jelas tak menginginkan itu. Itulah pentingnya memperhatikan taushiyah PB NU kali ini. (abd moqsith ghazali)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 04 Mei 2007,
Orang Islam, Bukan Golongan Islam

KH Abdurrahman Wahid;

Benturan antar "kebenaran" terjadi saat orang berani mengambil-alih fungsi Tuhan. Padahal, dalam ajaran tauhid, urusan kebenaran adalah hak prerogatif Tuhan. Demikian refleksi KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagaimana dituturkan berulang-ulang kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Radio 68H, Jakarta.
---------------

Umat Islam sering dikaitkan dengan radikalisme dan kekerasan. Menurut Gus Dur, apa yang salah?
Persoalannya adalah ketidakmengertian. Mereka yang melakukan kekerasan itu tidak mengerti bahwa Islam tidaklah terkait dengan kekerasan. Itu yang penting. Ajaran Islam yang sebenar-benarnya -saya tidak memihak paham mana pun, baik Ahlus Sunnah, Syi’ah, atau apa pun- adalah tidak menyerang orang lain, tidak melakukan kekerasan, kecuali bila kita diusir dari rumah kita. Ini yang pokok.

Kalau seseorang diusir dari rumahnya, berarti dia sudah kehilangan kehormatan dirinya, kehilangan keamanan dirinya, kehilangan keselamatan dirinya. Hanya dengan alasan itu kita boleh melakukan pembelaan.

Bagaimana cara menanggulangi radikalisme itu, Gus?
Ya, kita tidak boleh berhenti menekankan bahwa Islam itu agama damai. Dalam Alquran, ajaran tentang itu sudah penuh. Jadi, kita tidak usah mengulang-ulang (pernyataan) lagi bahwa Islam itu damai dan rasional. Hanya, memang ada sisi-sisi lain dari Islam yang kurang rasional. Tapi kalau dipikir-pikir lagi secara mendalam, jangan-jangan itu rasional juga.

Jadi, dengan begitu, kita tidak boleh serta merta memberikan judgement, pertimbangan, penilaian. Jangan! Kita harus benar-benar tahu latar belakang mengapa seseorang melakukan kekerasan. Tapi biasanya, yang pura-pura (Islam) itulah yang paling keras.

Menentang pemerintahan yang zalim apakah bisa disebut jihad?
Kita tetapkan dulu: pengertian jihad itu apa? Jihad adalah berperang di jalan Allah. Kalau tidak begitu, ya berarti jihad dalam pengertian lain. Banyak macam jihad, yaitu jihad ashghar (terkecil), shâghîr (kecil), kabîr (besar), dan akbar (terbesar). Ayatullah Khomaini pernah mengatakan bahwa jihad ashghar atau jihad yang terkecil adalah menegakkan keadilan. Tapi, itu tergantung niat Anda juga.

Kalau niat Anda berjihad kecil hanya untuk merobohkan pemerintahan, hasilnya ya, merobohkan pemerintahan saja. Di sini kita bisa kiaskan dengan ungkapan Alquran yang menyebutkan itu tergantung pada orangnya.

Kalau seseorang mau hijrah karena Allah dan utusan-Nya, maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan utusan-Nya. Tapi kalau hijrahnya demi harta benda atau perempuan yang akan dinikahi, ya, hijrahnya akan sampai pada apa yang akan dia hijrai itu.

Sama saja dengan cara kita dalam menilai jihad. Luarnya bisa saja seperti jihad, tapi dalamnya kita nggak tahu. Makanya, jangan gegabah dalam soal ini. Nggak gampang (menilainya, Red).

Bagaimana menentukan sikap Islam yang benar dalam kompleksitas kehidupan dunia ini?
Sikap Islam yang benar adalah sikap yang sesuai dengan ajaran pokok Islam. Ajaran pokok Islam ialah: Tuhan itu satu. Jadi, kita dituntut untuk mematuhi ajaran Tuhan, saling mengasihi, dan sebagainya.

Kita harus saling mengasihi antarmanusia. Kalau mau lebih disempurnakan, ya silakan. Itu kan urusan masing-masing. Tapi kalau ada orang yang berpendirian lain, ya nggak apa-apa juga.

Mana yang lebih baik, UU buatan manusia atau apa yang sering disebut "hukum Tuhan"?
Yang perlu dilihat itu segi pemakaiannya, jangan bikinannya. Quran itu memang bikinan Tuhan dan kita pakai pada saatnya. Sedangkan UUD itu buatan manusia dan kita pakai juga pada tempatnya.

Dalam kehidupan bernegara, kita pakai UUD. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita menggunakan UU Alquran. Begitu saja kok nggak tahu!

Merupakan kewajiban pemimpin Islam untuk menjelaskan itu supaya jangan ada kekeliruan. UUD itu memang buatan manusia; jadi, kapan saja mau diubah, ya bisa saja. Kalau Alquran, penafsirannyalah yang dari waktu ke waktu berubah; dan itu juga diakui oleh Alquran sendiri.

Bagaimana Gus Dur menafsirkan ungkapan Alquran innaddîna ’indalLâhil Islâm?
Artinya begini: sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam. Tapi, itu kan kata orang Islam, toh? Ya sudah, selesai! Itu kan juga kata kitab suci orang Islam. Makanya, kalau orang Islam bilang begitu, ya pantas-pantas saja. Sama saja ketika agama lain mengatakan "Ikutilah aku!" Itu kata Yesus. Nah, soalnya tinggal kita ikuti atau tidak. Itu saja.

Islam seperti apa yang paling utama bagi Gus Dur?
Yang paling utama bukan Islam golongan, tapi orang Islam. Ingat lo, antara institusi agama dan manusianya itu berbeda. Perbedaannya sangat jauh; ada yang ikhlas, ada yang cari pangkat, cari kedudukan, cari kekayaan, dan sebagainya.

Jadi, sangat susah menilai dan mengatakan Islam mana yang paling baik. Saya saja nggak berani ngakui bahwa Islam saya yang paling benar. Sebisa-bisanya saya jalani saja.

Banyak sekali soal khilafiah dalam masyarakat dalam menafsirkan agama yang satu sekalipun. Apa kriteria perbedaan yang membawa rahmat itu, Gus?
Dulu, ada perbedaan antara Muhammadiyah dan NU soal tarawih dua puluh tiga rakaat atau sebelas. Kan begitu? Semua itu sama-sama boleh. Jadi, jangan ribut hanya karena masalah seperti itu.

Yang harus kita selesaikan adalah masalah-masalah pokok seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan sebagainya. Tapi, itu malah yang nggak pernah diurusi. Malah yang diributkan tentang salatnya bagaimana; sebelas rekaat atau berapa. Itu kan bukan masalah yang serius!

Bagaimana membuat Islam sebagai rahmat, bukan malah mendatangkan laknat?
Agama akan jadi rahmat jika ia datang kepada manusia untuk kepentingan kemanusiaan. Tapi kalau untuk kepentingan manusianya sendiri, dan bukan untuk memenuhi kepentingan kemanusiaan, itu bukan agama namanya. Itu penggunaan agama yang salah.

Contohnya, perlunya agama terlibat langsung dalam isu lingkungan hidup. Itu sangat jelas karena lingkungan hidup sangat dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupan.

Isu itu merupakan kebaikan yang menyangkut langsung tentang kemaslahatan hidup. Makanya, di sini kita rumuskan dengan nama keyakinan. Kalau keyakinan itu untuk kemaslahatan semua, berarti itu agama. Tapi kalau tidak, ya namanya kepentingan kelompok. Jadi, harus dibedakan antara kepentingan agama secara umum dan kepentingan kelompok.

Tentang partai-partai dan kelompok-kelompok sektarian, apa tanggapan Gus Dur?
Ya, nggak apa-apa. Disebut atau tidak agamanya, sama saja. Yang penting, agendanya untuk kepentingan kemanusiaan secara umum. Yang menjadi pokok, untuk kepentingan siapa dia bekerja?

Kalau untuk kepentingan kelompok yang bersangkutan, itu namanya bukan agama. Bagi saya, agama itu harus hadir untuk semua golongan.

Di Alquran juga ada pengertian mengenai hal ini. Tanda-tanda atau bukti-bukti kehadiran Tuhan adalah jika yang bersangkutan mengharapkan kerelaan Tuhan, bukan untuk dirinya sendiri. Kalau begitu, ya bukan juga demi mengharap masuk surga. Tapi karena kerelaan. Kemudian untuk kebahagiaan akhirat nanti.

Mengapa ada kelompok Islam yang ingin ajaran-ajaran spesifik Islam diatur dalam hukum negara, seperti kewajiban berjilbab dan lain-lain?
Pemikiran seperti itu sebetulnya bersifat defensif. Artinya, mereka takut kalau Islam hilang dari muka bumi. Itu namanya defensif; pake takut-takutan. Sebenarnya, nggak perlu ada rasa ketakutan seperti itu.

Mestinya, hanya urusan-urusan kemanusiaan yang perlu kita pegang. Adapun soal caranya, terserah masing-masing saja. Jadi, orang Islam nggak perlu takut (Islam lenyap, Red).

Mengapa sering terjadi benturan klaim kebenaran antar agama-agama, bahkan dalam satu rumpun agama yang sama?
Karena kita berani-beraninya mengambil alih jabatan Tuhan, fungsi Tuhan, kerajaan Tuhan. Emangnya kita siapa, kok berani-beraninya?! Nggak ada yang lebih tinggi daripada yang lain. Yang lebih tinggi dan lebih besar daripada segalanya hanya Tuhan. (M. Guntur Romli)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 11 Mei 2007,
Penting, Agama di Indonesia

Andreas Harsono
Agama di Indonesia itu penting. Tetapi, Indonesia yang mana? Demikian pernyataan Direktur Pantau Andreas Harsono kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Kantor Berita Radio 68H Jakarta, Kamis (3/5) lalu.



Bagaimana sosialisasi keberagamaan Anda di masa kecil?

Saya lahir dari keluarga Tionghoa di Jember, sebuah kota perkebunan tembakau. Orang sana dapat duit dari tembakau. Mayoritas penduduknya campuran Jawa-Madura dan mereka pengikut NU.

Saya termasuk generasi ketiga keluarga yang hidup di sana. Sejarahnya, engkong dan emak saya datang dari sebelah selatan Tiongkok, di daerah dekat Guang Dong. Seperti kebanyakan orang Tionghoa, kami dibesarkan dalam agama Konghucu. Jadi, saya tahu ada kelenteng, ada Lian Long di Jember.


Apa implikasi tidak adanya pengakuan terhadap agama Konghucu itu?

Nama harus diganti dengan nama Indonesia. Itu peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa semua orang Tionghoa harus diganti namanya. Nama saya dulunya adalah Ong Tjie Liang. Waktu itu kami susah juga; bagaimana nama harus diganti? Ayah saya lalu pergi ke seorang guru yang diaggap baik di Jember. Beliau mengusulkan nama ayah diganti jadi Harsono.


Trik-trik apa yang dilakukan keluarga Anda untuk mengungkapkan ekspresi keberagamaan?

Ya, pragmatis saja. Yang penting selamat. Kita tidak mungkin melawan negara yang begitu besar ini. Kami juga sadar bahwa kami adalah minoritas kecil. Mempertahankan Konghucu sebagai agama untuk dianut ya tidak mungkin.

Jadi, ya pindah agama lain. Memang ada juga yang mempertahankan Konghucu secara diam-diam. Mereka sebenarnya cukup banyak. Tapi, ya tetap sulit; sama sulitnya dengan belajar bahasa Mandarin. Orang akan sulit belajar agama Konghucu kalau belajar bahasanya saja juga dilarang. Akhirnya, kemampuan berbahasa itu hilang.


Anda juga coba mengenal lingkungan yang dominan Islam tradisional?

O, ya. Saya bisa bahasa Madura, bahasa Jawa, sedikit Mandarin. Kaum minoritas yang tertindas di mana-mana di seluruh dunia, baik Yahudi, orang Jawa di Suriname, atau orang hitam, selalu harus fleksibel dan mesti belajar sebanyak mungkin dari masyarakat sekelilingnya.


Tapi, tak mungkin menanamkan keyakinan agama yang betul-betul ketat, ya?

Nggak juga. Saya belakangan sadar bahwa kita tetap bisa belajar agama apa pun sebanyak mungkin. Tidak hanya satu. Dan itu menurut saya lebih baik. Sampai sekarang, saya selalu merasa senang kalau melihat orang salat sendiri dengan syahdu atau zikir sendirian. It’s beautiful! Saya belajar.


Kapan Anda keluar Jember dan melihat dunia luar lebih beragam?

Saya tinggal di Jember sampai umur 15 tahun. Saat SMA, saya dikirim ke kota Malang. Di sana saya sekolah di sekolah Katolik lagi. Namanya SMAK Sint. Albertus; sebuah sekolah tua dari zaman Belanda. Setelah itu, saya kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Nah, ini sekolahan Protestan. Tapi waktu itu, dosennya bagus-bagus. Ada Arief Budiman, George Aditjondro, Ariel Hariyanto, Nico L. Kana, dan Richard Hutapea.

Ada juga Pendeta Sutarno yang sangat renaissance dan Pendeta Probo yang mendirikan Parkindo (Partai Kristen Indonesia, Red) saat di Belanda.


Apakah agama di Indonesia dianggap penting?

O, ya. Di Indonesia, agama itu cukup penting. Tapi, di Indonesia yang mana dulu, tentu harus kita tanya. Indonesia begitu beragam. Secara geografis, Indonesia punya empat bahkan lima time zone: WIB, Wita, dan WIT. Seharusnya ada lima. Nah, di lima kawasan ini, dari Aceh sampai Papua, ada lebih dari 500 bahasa. Di Pulau Miangas yang dekat dengan Mindanao, misalnya, ada bahasa Talaut, bahasa Tomea, bahasa Binongko, bahasa Rote, dan lain-lain.


Ada semacam stereotipe orang Tionghoa tertutup dalam pergaulan dengan etnis lain. Apa penjelasan Anda?

Ada dua teori untuk menjawab soal eksklusivitas orang minoritas. Saya mulai dari cerita. Saya pernah mengajar di IAIN Al-Raniry Banda Aceh. Nah, di Banda Aceh itu, ada semboyan bahwa bangsa Indonesia itu sebetulnya tidak ada. Yang ada adalah "bangsa Jawa" dengan nama samaran "bangsa Indonesia". Dan, Jawa itulah yang menjajah Aceh.

Nah, di Aceh juga banyak transmigran dari Jawa. Pada suatu saat, salah satu mahasiswa saya tanya. Mereka biasanya panggil saya Teuku. "Teuku Andreas, mengapa orang-orang Jawa tidak mau bergaul dengan orang lain? Kalau ngomong, meski di luar Jawa, mereka tetap pakai bahasa Jawa. Bahkan, kawin pun harus dengan orang Jawa. Mereka juga tidak mau bergaul," katanya.

Lalu, saya jawab, "Ya biasa, orang minoritas itu, ya begitu!" Mereka pertama-tama harus bergelut lebih kuat dibanding yang mayoritas. Itu karena posisi mereka kecil. Dan mereka harus bekerja lebih keras. Kalau kita lihat para pendatang di Papua, baik dari suku Bugis, Batak, Jawa, dan lain-lain, mereka juga termasuk pekerja-pekerja keras. Kebanyakan berhasil. Di mana-mana, orang minoritas itu seperti itu. Karena bekerja terlalu keras, mereka lupa bersosialisasi.

Tapi di Aceh, banyak sekali orang Jawa yang bisa bahasa Aceh. Sama halnya dengan orang Tionghoa yang bisa bahasa Jawa, Sunda, dan seterusnya.

Jadi, biasalah itu. Meskipun kadang kita jengkel juga kalau melihat orang Tionghoa yang hanya mikirin kerja dan seterusnya. Tapi yang penting, mereka tidak bunuh orang, tidak melakukan kekerasan. Itu yang penting.


Tapi, selalu ada perasaan tidak aman gitu ya?

Ya, tentu. Itu terjadi di mana-mana. Misalnya orang-orang Madura di Kalimantan Selatan. Mereka didiskriminasikan secara luar biasa. Tidak ada diskriminasi yang lebih besar di Indonesia sehebat yang dialami orang Madura di Kalimantan Selatan. Dari Pontianak sampai Samarinda.

Tapi, mereka juga bekerja keras. Dan saya tahu, betapa kerasnya mereka bekerja. Kadang-kadang sampai disalahmengerti tetangganya. Ya, mereka dianggap tidak peduli dengan tetangga karena jarang bergaul.(novriantoni)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 18 Mei 2007,
Moqshid Memprovokasi Konflik

Oleh
Muhammad Ismail Yusanto

Esai yang ditulis Moqshid Ghazali di rubrik kajian (4/5/2007) banyak mengandung klaim dan penyesatan. Oleh karena itu, tulisan tersebut harus ditanggapi dan diluruskan.

Pertama, penggunaan istilah "Islam transnasional" yang dialamatkan kepada sejumlah kelompok disertai dengan melekatkan tuduhan-tuduhan tertentu yang tidak pernah bisa diverifikasi kebenarannya. Artinya, hal itu menimbulkan generalisasi penyesatan.

Seperti kasus perebutan masjid dan menghujat kebiasaan amaliah-ritualistik warga NU, yang tidak jelas di mana kasusnya, oleh siapa, kapan, dan bagaimana kejadiannya?

Tetapi, ketika pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah dijawab, karena memang tidak bisa diverifikasi, tiba-tiba fitnah tersebut sudah tersebar ke mana-mana. Celakanya, "Islam transnasional" yang dijadikan kambing hitam fitnah jahat itu. Celakanya lagi, fitnah itu terus diulang-ulang, seolah-olah memang benar.

Padahal, tidak pernah ada klarifikasi. Jika fitnah seperti itu diteruskan, justru itulah yang akan memicu konflik horizontal di tengah umat. Apakah memang itu yang menjadi tujuannya?

Kalau memang benar begitu, lalu siapakah yang paling bertanggung jawab jika terjadi konflik horizontal akibat fitnah seperti itu? Karena itu, menurut saya, klaim dan penyesatan seperti itu harus segera dihentikan.

Kedua, istilah "Islam transnasional" lawan dari "Islam nasional" atau "Islam keindonesiaan" itu sendiri sebenarnya tidak ada. Sebab, Islam hanya satu. Sumber Islam juga satu, yaitu Nabi Muhammad SAW, yang ternyata bukan orang Indonesia.

Islam juga bukan agama asli Indonesia, tetapi dibawa masuk dari Arab ke Indonesia. Karena memang Islam bukan hanya agama orang Arab, tetapi juga agama semua bangsa, baik Arab maupun non-Arab (’ajam).

Karena itu, tidak ada Islam Arab atau Islam Indonesia. Maka, klaim seperti ini justru bertentangan dengan nash Alquran, wamaa arsalnaka illa kaffat[an] li an-nas (Kami tidak mengutusmu [dengan membawa ajaran Islam], kecuali untuk seluruh manusia) (Qs 34: 28).

Kalau memang Islam bukan agama transnasional, tentu tidak ada ibadah yang dilakukan lintas negara, seperti haji, umrah, dan jihad. Kalau Islam bukan agama transnasional, pasti praktik ibadah kaum muslim di Indonesia berbeda dengan kaum muslim di Saudi, Iran, Iraq, Kuwait, dan sebagainya. Tapi, nyatanya tidak. Maka, semuanya itu membuktikan bahwa Islam adalah agama transnasional. Jadi, "Islam transnasional" ini bisa menyesatkan.

Ketiga, jika mencermati uraian Moqshid, seolah-olah NU menolak formalisasi syariah. Terlebih, ketika formalisasi itu dihubungkan dengan ancaman bubarnya Indonesia. Ini tentu menyesatkan.

Dan, penyesatan seperti itu pernah dijawab oleh Ketua PB NU KH A. Wahid Hasyim sendiri, "Pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa, dan akan menjauhkan Irian menurut pandangan hukum Islam, adalah merupakan perbuatan munkar yang tidak dibenarkan syariat Islam, dan wajib tiap-tiap orang muslim menyatakan inkar atau tidak menyetujui.." untuk merespons pidato Soekarno (27/1/1953) di Amuntai, yang menuduh kalau Islam digunakan untuk memerintah negara, maka banyak daerah akan lepas.

Bukan hanya itu, AD/ART NU juga menyatakan komitmen NU, "Menegakkan syariat Islam menurut haluan Aswaja (Ahlu Sunnah wal Jama’ah)." Sementara syariat Islam menurut Aswaja itu bukan hanya ’ubudiyah (ritual), tetapi juga munakahat, mu’amalat, jinayat, jihad, termasuk ahkam sulthaniyyah.

Keempat, perjuangan khilafah akan bertubrukan dengan sikap para kiai NU. Saya kira ini juga klaim yang menyesatkan. Sebab, kitab-kitab yang membahas wajibnya mengangkat khilafah (imamah) juga dibahas di pesantren.

Pendapat ini juga bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tetapi pendapat seluruh ulama kaum muslim. Sebut saja kitab al-Hushun al-Hamidiyah, yang menjadi buku wajib di pesantren, juga kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah.

Jadi, tuduhan Moqshid itu jelas mengada-ada. Kecuali kalau dia memang berniat menubruk-nubrukkan para kiai dengan kelompok lain, termasuk Hizbut Tahrir. Wallahu a’lam.


Muhammad Ismail Yusanto, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 18 Mei 2007,
Mengungkap Ajaran Siti Jenar

Sosok Syekh Siti Jenar yang banyak dimitoskan pelan-pelan terkuak. Beberapa penelitian menyingkap sosok dan ajarannya. Benarkah dia sosok yang murtad dari sudut pandang agama? Selasa lalu (15/5) Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) berbincang-bincang dengan Agus Sunyoto, penulis 7 jilid buku fiksi sejarah tentang tokoh kontroversial tersebut.
-----------

Seperti apa riwayat ketertarikan Anda meneliti sosok Syekh Siti Jenar?
Kakek saya dari pihak ibu adalah orang Jombang. Dia mengaku mengamalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Ketika saya tanya dari mana memperoleh pengetahuan itu, dia jawab, "Lho, saya kan santri Tebu Ireng angkatan pertama!"

Dia meninggal 1995 dalam usia 105 tahun. Satu-satunya guru yang dia ikuti ajarannya sampai saat itu adalah almarhum KH Hasyim Asyari. "Berarti Mbah Hasyim mengajarkan soal ini, dong?" tanya saya. "Lha, iya!" katanya.

Saya berpikir, dari mana dia dapat itu kalau bukan dari Mbah Hasyim langsung. Tapi saya masih ragu: masak Mbah Hasyim mengajarkan itu?! Dari beberapa sumber lain, saya mendapat jawaban yang sama. Jadi, saya berkesimpulan benar bahwa Mbah Hasyim mengajarkan itu.

Apakah ajaran Siti Jenar masih berjejak dalam masyarakat Jawa saat ini?
Ada. Itu terlihat dari adanya guru-guru tarekat atau kebatinan dari kalangan pribumi. Sebelum Siti Jenar, masyarakat pribumi tidak boleh menjadi guru (tarekat). Setelah itu, baru boleh.

Unsur-unsur apa dari ajaran Siti Jenar yang masih tampak dalam tarekat yang mengklaim tersambung dengan dirinya?
Egalitarianisme. Mereka egaliter sekali. Tarekat mereka tidak mengenal mursyid-mursyid yang diagungkan. Kalau mereka berdiskusi soal-soal teologis, maka kedudukan guru tidak ada sama sekali. Semua orang adalah lawan bicara. Jadi, tidak ada kultus mursyid.

Adakah ciri lainnya?
Ada. Cara mereka menuju Tuhan sangat individualistik. Toh, Nabi Muhammad ketemu Tuhan dengan cara sendirian di Gua Hira. Mereka tidak rame-rame. Kalau dilakukan rame-rame, itu namanya demonstrasi, bukan mencari Tuhan. Ketiga, masing-masing pengikut tarekat ini tidak saling kenal, dan ajaran-ajarannya disampaikan secara rahasia.

Doktrin apa yang tampak paling mencolok dari tarekat mereka?
Yang utama soal tauhid. Pemahaman tentang ini agak beda dengan pemahaman awam. Tuhan bagi mereka adalah sesuatu yang tidak terdefinisikan. Laitsa kamitslihi syai’un atau Dia adalah yang tidak bisa digambarkan. Siti Jenar juga mengatakan bahwa ke-99 sifat Tuhan di dalam asma’ul husna itu juga ada potensi-potensinya dalam diri semua manusia.

Manusia punya sifat sabar karena Allah punya sifat as-Shabûr (Mahasabar). Manusia sombong karena memang ada sifat al-mutakabbir (Mahasombong) pada Allah.

Ada juga sifat ad-Dhâr, Yang Maha membuat bahaya. Lah, manusia itu kan sering melakukan hal yang membahayakan orang lain maupun dirinya. Jadi, bagi Siti Jenar, tanpa adanya manusia, tidak ada asma’ul husna, karena dia juga mengejawantah di dalam diri manusia.

Pandangan teologis Siti Jenar itu qadariyah, jabariyah, atau apa?
Tidak itu semua. Bagi dia, orang yang mengamalkan ajarannya haruslah hidup dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari situ dapat dibuktikan bagaimana citra insan kamil (manusia sempurna) itu mengejawantahkan sifat-sifat Tuhan. Artinya, manusia adalah cerminan Tuhan.

Karena itu, manusia harus mengamalkan watak as-Shabûr, al-`Âdil, al-Hakîm, dan watak-watak Tuhan lainnya.

Siti Jenar punya struktur berpikir yang sederhana. Misalnya, dia bicara soal al-khâliq, Mahapencipta atau Sang Pencipta. Kata ini terdiri atas tiga huruf: kha’, lam, qaf. Dari kata khâliq itu justru ada ciptaan atau al-khalq. Jadi, ada pencipta dan ada ciptaan.

Karena itu, munculnya khalq atau ciptaan berasal dari kha-la-qa dan al-khâliq. Hurufnya masih sama: kha’, lam, dan qaf. Nah, bagaimana cara si khalq menuju khâliq?

Jadi?
Ada perantara bernama khuluq, budi pekerti. Khuluq-nya siapa? Khuluq yang karim (budi pekerti yang mulia). Semakin seseorang tak bisa mengejawantahkan khuluq itu, makin jauh dia dari Tuhan. Kalau khuluq-nya jelek, ya mesti jauh dari khâliq. Kalau mau dekat, ya harus mencerminkan perilaku sang khâliq.

Apa standar khuluq-nya di situ?
Ya, perbutan sehari-hari. Ritual salat misalnya, (yang penting) efeknya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tanhâ `anil fahsyâ’i wal munkar (menjauhkan dari perbuatan keji dan munkar, Red). Khuluq itu ada dalam kehidupan sehari-hari.

Karena itu, orang tidak boleh mengasingkan diri dari kehidupan dan masyarakat. Khairun nas anfa`uhum lin nas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, Red). Makin banyak manfaatnya akan makin bagus; makin mulia. Makin banyak mudaratnya, makin jelek orangnya.

Lalu fungsi ritual agama seperti apa?
Kalau kembali ke syariat, satu-satunya agama yang mensyaratkan uji empiris adalah Islam. Semuanya empiris, dan yang tidak empiris tidak diakui. Orang yang beriman harus jelas: diyakini di dalam hati, lalu diucapkan dengan lisan.

Pengujinya apa? Perbutan! Kalau ucapanmu tak sesuai dengan tindakanmu, maka stempelmu adalah munafik. Itu empiris! Jadi, dasar pertama adalah uji empiris. Sampai menyangkut soal salat. Untuk menandai kamu Islam, ya salat. As-salâtu `imadud dîn, salat itu tiang agama. Jadi, ujinya empiris.

Di mana titik polemis antara Siti Jenar dan para wali lainnya?
Tidak ada (dalam soal itu). Tapi, Siti Jenar juga mengajarkan unsur tarekat yang di dalamnya terkandung pengetahuan-pengetahuan spiritual. Yang namanya spiritualitas itu kan tidak bisa dibuktikan secara empiris. Sementara, bagi ulama yang berpikiran feqih atau syariat-sentris, pengalaman spiritual itu bersifat sangat pribadi. Bagaimana membuktikannya?!

Kalau sudah fana ketemu Tuhan, apa tandanya? Karena itu, susah memahami ungkapan sosok seperti al-Hallaj, wamâ fî jubbatî illalLâh, tidak ada lain dalam jubahku kecuali Allah. Atau ungkapan anal haq! (akulah Sang Kebenaran) dan ungkapan lainnya.

Semua itu tidak bisa dibuktikan secara empiris. Makanya, itu dianggap salah. Karena standar ujinya empirisisme.

Apa beda teori penciptaan Siti Jenar dengan teori pancaran atau emanasi dari Ibu Sina?
Dalam pandangan Siti Jenar, munculnya segala makhluk berasal dari itu tadi: khâliq menjadi khalq. Kemudian, ada juga istilah ma`bûd (sembahan) dengan `âbid (penyembah). Hurufnya sama.

Bagi Siti Jenar, ada tuan dan ada hamba. Di antara keduanya ada yang bernama `ibâd (kawula). Dari sini juga muncul kata ibadah. Jadi, hubungannya lurus; harus lurus. Kalau hubungan `ibâd dengan ma`bûd makin tidak lurus, itulah yang dinamakan bid’ah.

Jadi, bid’ah tak dimaknai sebagai sesuatu yang ditambah-tambahi dalam agama. Standarnya tidak fikih. Kalau sesuatu menyimpang dari tauhid, itu baru bid’ah.

Kalau orang melakukan ibadah, misalnya, sedekah, untuk pamer-pamer, bukan untuk ma`bûd-nya, itu bid’ah, pamer! Ayo tivi, shooting saya yang nyantuni anak yatim! Itu bid’ah namanya. Itulah pemaknaan Siti Jenar.

Untuk memperantarai hubungan khâliq dengan khalq, ada konsep nur muhammad. Anda memaknainya sebagai "cahaya yang terpuji", bukan cahaya Nabi Muhammad. Mengapa?
Itu pemaknaan Siti Jenar. Nama Muhammad itu kan terhitung baru. Sebelum Islam, tak ada orang Arab bernama Muhammad. Dan yang menyampaikan konsep nur muhammad juga bukan Nabi Muhammad. Ini konsep perantara untuk penciptaan awal.

Nur muhammad inilah yang oleh Siti Jenar dianggap sebagai cara pemunculan hakikat muhammadiyah.

Ceritanya begini. Taruhlah nur muhammad itu biji nangka yang sudah ada konsep buah, daun, batang, dan lainnya. Itu sudah ada. Tapi dia dibungkus dalam biji nangka. Nah, hakikat muhammadiyah baru ada kalau buah itu ditanam, tumbuh, dan betul-betul menunjukkan ada konsep daun, batang, akar, dan lain sebagainya.

Jadi, konsep nur muhammad itu tidak bermakna eksklusif bahwa penciptaan harus lewat jalur Nabi Muhammad. Menurut Siti Jenar, seluruh makhluk, apa pun agama dan jenisnya, berasal dari konsep nur muhammad itu.

Bagaimana sikap Siti Jenar terhadap keragaman budaya lokal di Jawa?
Dia justru mengakomodasi itu semua. Karena itu, terhadap agama Kapitayan, agama tauhid pra-Hindu, dia langsung ambil-alih. Bagi dia, untuk menyebarkan Islam, ini sama saja. Tapi dia juga memodifikasi. Kalau untuk menyembah Tuhan, bagi dia tak usah pakai istilah salat. Sebab, agama Kapitayan sudah pakai istilah sembah Hyang. Kata itu lalu dipakai. Hyang itu dalam bahasa Kawi artinya dewa. (moh guntur romli)

Kajian Utan Kayu dari Jawa pos

Jumat, 25 Mei 2007,
Politisi Islam Belajarlah dari Jerman

Ahmad Norma Permata:

Indonesia dan negara muslim lain masih mencari sintesis antara Islam dan demokrasi. Akankah itu terjadi? Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Radio 68H, Jakarta, dengan Ahmad Norma Permata, mahasiswa S-3 Ilmu Politik di Universitas Muncster, Jerman, Kamis (17/5) lalu.
----------

Apa yang menarik dari studi Islam di Jerman?
Yang menarik adalah soal posisi Jerman yang unik dalam hubungannya dengan dunia Islam. Jerman adalah satu-satunya negara besar Barat yang tidak pernah punya sejarah konflik dengan dunia Islam.

Sejak masa pra-kolonialisme pun, Jerman tak punya sejarah konflik dengan Islam. Itu yang membuat hubungan Jerman dengan dunia Islam tampak biasa-biasa saja. Intens tidak, tegang juga tidak.

Kajian-kajian keislaman di Jerman juga berbeda dengan negara-negara yang pernah punya sejarah konflik dengan Islam. Prancis atau Belanda selalu dianggap punya kepentingan politis dalam mengkaji Islam karena mereka pernah berkuasa di beberapa dunia Islam. Amerika pun kini punya kebutuhan politis untuk menyelesaikan persoalan mereka dengan Islam. Nah, Jerman tidak punya persoalan langsung.

Karena eksepsi Jerman itulah orang mengkritik Edwar Said yang menuduh orientalisme Barat menumpang kolonialisme, ya?
Barangkali betul. Meski pada aspek tertentu, seperti dalam aktivisme gereja, para intelektual Jerman juga banyak yang terlibat, seperti Martin Kraemer. Dan sampai sekarang, profesor-profesor gereja juga masih banyak yang melakukan kajian-kajian keislaman.

Tentu ada kaitannya dengan kepentingan gereja. Meski begitu, saya melihat kajian Islam intelektual Barat yang dekat dengan gereja masih jauh lebih ilmiah ketimbang intelektual politik.

Bisa disebutkan beberapa sentra kajian keislaman di Jerman?
Sulit bicara tentang Islam sebagai entitas tunggal. Kalau kajian Turki, baik tentang agama maupun budayanya, saya kira di Jerman banyak. Jadi, kajian Islam masuk dalam kajian wilayah.

Tapi, ada juga kajian tersendiri tentang Arab. Biasanya, kajian keislaman masuk dalam departemen bahasa. Nah, yang punya tradisi kajian keislaman cukup baik selama ini adalah Universitas Hamburg.

Berapa banyak mahasiswa Indonesia yang belajar Islam di Jerman?
Mahasiswa Indonesia ribuan. Sebab, biaya kuliah di Jerman sangat murah. Orang tua-orang tua yang tak terlalu kaya biasanya memilih menguliahkan anaknya di Jerman. SPP saya yang S-3 saja hanya sekitar 150 euro atau kurang dari dua juta rupiah. Itu yang membuat banyak mahasiswa Indonesia tertarik kuliah di sana.

Tapi, kebanyakan mengambil jurusan ilmu alam dan ilmu murni. Yang di ilmu sosial tak banyak, apalagi jurusan agama. Namun, di jurusan teologi lumayan banyak, seperti teologi Katolik dan Protestan.

Apakah komunitas Islam Jerman mengorganisasikan kajian-kajian keislaman juga?
Komunitas muslim yang terbanyak adalah Turki. Sekitar 3 juta orang Turki ada di Jerman. Mereka punya komunitas sendiri. Sayang -dan ini yang sering dikeluhkan masyarakat atau pemerintah Jerman- hampir dua atau tiga generasi setelah Perang Dunia II, mereka belum sepenuhnya menyatu dengan masyarakat Jerman. Mereka masih suka pakai bahasa Turki dalam komunikasi sehari-hari.

Karena itu, belakangan ada program training bagi imam-imam masjid Turki agar mahir berbahasa Jerman. Selama ini, sebagian besar imam didatangkan langsung dari Turki. Saya sering ikut Jumatan, tapi sayang khotbahnya pakai bahasa Turki.

Selain Turki, ada juga komunitas Arab. Biasanya, komunitas Islam non-Turki dan non-Arab lebih memilih ikut komunitas Arab. Sebab, komunitas Turki lebih eksklusif dan memang lebih cenderung mapan.

Kabarnya, mereka sering jadi bahan guyonan?
Ya. Terutama di acara-acara komedi televisi Jerman. Mungkin, ada semacam rasa tidak suka kepada orang Turki. Nah, kajian-kajian sistematis tentang Islam itu kurang tampak. Orang Turki di Jerman lebih protektif. Bahkan, ada yang bilang, orang Islam Turki Jerman itu lebih konservatif dibanding orang Turki yang di Turki sendiri.

Di Amerika, banyak pemikir progresif Islam. Selain Bassam Tibi, siapa pemikir progresif Islam Jerman?
Kalau kita buka website Bassam Tibi, akan tampak bahwa dia juga tidak leluasa untuk berpikir karena tidak terlalu diterima oleh lingkungannya. Tapi, Tibi cukup produktif. Memang perlu dianalisis secara sosiologi-politik, mengapa intelektual muslim di Jerman "hangat-hangat tahi ayam" dalam urusan kajian keislaman.

Saya kira, soalnya karena itu tadi; tidak adanya benturan politis atau konflik riil yang membuat mereka harus giat mengatasi persoalan. Persoalan mungkin hanya terjadi dalam pola hubungan rakyat Jerman dengan warga Turki.

Tetapi, tulisan Bassam Tibi menarik kan?
Betul. Tulisan-tulisan dia tentang Islam sangat menarik. Dia ilmuwan politik internasional. Tapi, dia fasih menggunakan sudut pandang antropologi, seperti teori Clifford Geertz tentang agama sebagai sistem budaya. (novriantoni)

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 08 Juni 2007,
Melawan Agama dengan Agama

Pada 14 Oktober 1956, Dr Bhimarao Ambedkar, bapak konstitusi India, menyatakan keluar dari Hindu, agama yang melekat pada dirinya sejak lahir, dan memasuki gerbang agama baru, Buddha. Setelah melalui proses pencarian dan pengkajian yang panjang, hari itu dia sampai pada kesimpulan bahwa dirinya tidak bisa berharap lagi dari agama yang dianggap telah menjeratnya itu.

Bagi dia, hinduisme di India tidak bisa dilepaskan dari sistem kasta. Sistem kasta itulah yang menjeratnya sebagai warga Dalit (warga yang dianggap setengah manusia, di bawah warga berkasta).

Menurut Ambedkar, ketika agama melanggengkan penindasan, ia tak bermakna lagi sebagai agama. Ketika suatu agama tak lagi membebaskan kemanusiaan, jawabannya adalah tinggalkan agama itu. Secara simbolis, perpindahan dia ke Buddha merupakan bentuk perlawanan terhadap diskriminasi ratusan tahun yang dialami kaumnya.

Tentu tak semua warga Hindu sepakat dengan Ambedkar. Sindiran Ambedkar terutama ditujukan pada sekelompok kaum fundamentalis Hindu yang mengembangkan semangat puritan yang disebut Hindutva. Spirit Hindutva itu pula yang dianggap ikut melanggengkan konflik antaragama di India. Spirit tersebut menegaskan penegasian terhadap orang dan agama lain (otherizing). Bagi mereka, India adalah Hindu dan Hindu adalah India. Karena itu, penganut agama lain harus diposisikan sebagai warga kelas dua.

Meski Hindutva tak tampak dominan di tingkat Hindu-kota dan warga India modern, gerakan itu sangat nyaring disuarakan dan ikut memengaruhi pelanggengan konflik dan diskriminasi di seantero India, terutama diskriminasi yang berbasis sistem kasta. Hasilnya, resistensi terhadap hinduisme menjadi alat perlawanan kaum pinggiran. Bisa jadi kita akan terkesiap ketika mendengar fakta yang baru terjadi beberapa hari lalu.

Memperingati 50 tahun konversi Ambedkar ke agama Buddha, lebih dari 50.000 orang berduyun-duyun mendatangi arena balap di Mumbai, Mahalaxmi, Minggu, 27 Mei lalu. Mereka menyelenggarakan upacara yang disebut Dhamma Deeksha. Mereka datang dari berbagai negara bagian di India untuk satu tujuan: menyatakan diri bukan bagian dari Hindu, lalu memeluk Buddha sebagai pilihan agama mereka.

Meski sebagian tak mengaku beragama Hindu, mereka merasa bahwa selama ini para pemimpin Hindu memperlakukan mereka sebagai bagian dari Hindu. Karena itu, penindasan terhadap mereka mendapat pengesahan. Itu adalah perpindahan agama paling masif yang terjadi dalam sejarah India modern. Oktober tahun lalu, acara serupa melibatkan sekitar 15.000 orang.

Mereka merasa lahir kembali sebagai manusia. Mereka juga memilih agama Buddha sebagai tempat berteduh. Buddha adalah agama tanpa dorongan proselitisasi yang cenderung politis. Justru agama Buddha tidak terlalu peduli dengan aspek kelembagaan sebagai agama. Yang lebih penting, agama Budha dianggap memberikan jawaban yang sangat mengena tentang kesetaraan dan keadilan antarmanusia.

Kasus itu menunjukkan, ketika agama tak lagi tampil dengan wajah damai dan memanusiakan manusia, ia akan cenderung ditinggalkan pemeluknya. Ketika ia cenderung kaku dan tak berkompromi dengan konteks, ia akan kehilangan fungsi profetisnya. Ketika yang dominan muncul dari agama adalah institusinya, yang bicara adalah politik identitas, relasi kekuasaan.

Yang menarik, masyarakat India menyikapi konversi itu sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Meski reaksi juga bermunculan dari kalangan pemimpin Hindu, tak terdengar kasus konflik dengan alasan konversi tersebut. Sebagai negara demokratis, India adalah contoh bagi kita. Memilih agama atau tidak beragama adalah hak setiap warga negara.

Meski konstitusi Indonesia juga sudah menjamin hak itu, sejauh ini konversi masih menjadi masalah besar. Alih-alih menjadi bahan kritik ke dalam dan media introspeksi tiap-tiap agama, sering kali kita justru menyalahkan seseorang yang pindah dari agama kita. [anick h. tohari]

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 08 Juni 2007,
Lewat Adat, Pijakan Bersama Bisa Ditemukan

Pendeta Jacklevyn Fritz Manuputty:
Dalam proses resolusi konflik Maluku, adat berfungsi sebagai penghimpun tatkala agama mencerai-beraikan. Kearifan lokal kembali digadang-gadang sebagai ratu adil untuk semua. Berikut percakapan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Pendeta Jackvelyn Manuputty, tokoh Maluku yang Selasa (28/5) lalu menerima Maarif Award karena kontribusinya dalam proses resolusi konflik di Maluku.
-------------

Bung Jacky, apa makna Maarif Award yang Anda terima bagi resolusi konflik di Maluku?
Sebenarnya, saya baru oke menerima award itu tiga hari menjelang acara digelar di Jakarta. Sebab, saya sadar, bagi masyarakat Maluku, figurisasi itu berbahaya bagi proses perdamaian di Maluku sendiri. Setiap orang Maluku merasa independen dan berpartisipasi dalam upaya perdamaian dan tidak ada yang mewakili siapa pun. Siapa yang merepresentasi siapa adalah persoalan. Kecuali kalau kita yakin bahwa proses itu didukung orang.

Namun, ada pertimbangan lain dari teman-kawan sehingga saya bersedia menerima award tersebut. Selama ini, pengalaman-pengalaman empirik kita telah dipersonifikasikan oleh sebanyak orang yang datang untuk memediasi, memfasilitasi, dan meng-impose berbagai teori tentang manajemen konflik di Maluku. Seakan-akan kita, Muslim dan Kristen Maluku, tidak mampu melakukan itu. Saya selalu bilang bahwa kita harus buktikan bahwa kita mampu dan kearifan lokal kita tidak hancur seperti yang disampaikan di luar sana. Kalau mau menunjukkan, kita mampu. Ya, kita terima ini, kata mereka. Dan kebetulan, saya memimpin lembaga antariman di sana.

Karena itu, Maarif Award ini bermakna. Pertama, kita ingin men-sounding bahwa proses-proses lokal itu sebenarnya hidup dan bisa dipakai untuk resolusi konflik. Kedua, kita ingin memberi pesan yang korektif pada proses berbangsa ini. Menurut kita, masalah di Maluku bukan pada cara merekonstruksi-ulang makna verbal dari kekerabatan dan solidaritas, tapi bagimana menggunakannya secara strategis dan merangkainya dalam proses pembangunan. Persoalan klasik yang sampai sekarang terjadi di mana-mana adalah: kebudayaan tak pernah diikutsertakan dalam strategi pembangunan.

Apa kearifan lokal yang digunakan dalam resolusi konflik Maluku dan bagaimana mekanismenya?
Ada spontanitas dari masyarakat yang tumbuh saat konflik dan meningkat pasca-konflik, terutama masyarakat adat, untuk kembali memakai elemen-elemen lokal dan instrumen-instrumen adat dalam merajut kembali hubungan antarmasyarakat. Itu tanpa difasilitasi oleh pemerintah atau pihak lain. Kegiatannya seperti proses pendirian rumah adat yang tiba-tiba menjadi sangat marak dan menghadirkan apa yang disebut Pela Gandong.

Istilah Pela Gandong ini menyangkut relasi geneolog. Di sana kita percaya bahwa meski Anda muslim dan saya Kristen, nenek-moyang kita tetaplah sama, sehingga kita bersaudara. Gandong artinya adik.

Ada Panas Pela sebagai upacara ritual yang secara periodik diadakan untuk mengingatkan kembali kearifan itu. Itu yang dikembangkan secara spontan, terutama di akhir konflik. Saat ini saya melihat ada kegalauan kolektif, kegalauan sosial pascakonflik; orang-orang Maluku kehilangan common ground atau pijakan bersama. Mau dicari ke agama, ternyata sangat sensitif; ke politik hancur-hancuran; ke ekonomi lebih parah lagi. Lalu, orang merujuk balik kepada apa yang kita punya sama-sama.

Jadi, yang menghimpun justru adat, bukan agama?
Tentu saja! Melupakan adat adalah kesalahkaprahan kita dalam melihat faktor keharmonisan Maluku dalam lintasan sejarah. Saya bilang itu bentuk quasi-historis. Sebenarnya, (adat) itu juga baru kita temukan ketika konflik. Selama ini, ada ketegangan-ketegangan diam dalam kurun waktu panjang, bahkan sejak zaman kolonial, yang penyelesaiannya tak pernah tuntas. Biasanya, ketegangan apa pun yang terjadi, penyelesaiannya selalu dibawa ke ruang kultural: adat atau budaya. Adat menjadi buffer-zone.

Tapi, ketika di Maluku terjadi kerapuhan budaya, terutama sejak 1970-an, kita kehilangan zona pengaman itu. Politisasi agama di level nasional yang berimbas ke daerah-daerah akhirnya ikut menyuburkan ketegangan-ketegangan diam yang terinternalisasi di alam bawah sadar kita sejak lama. Ketika konflik pecah dan berdarah-darah, kita ternyata lemah di aspek adat-istiadat itu.

Ada yang menyebut sebetulnya warisan Pela Gandong itu hanya mitos sehingga tak bisa direalisasikan lagi?
Ya, tapi spontanitas masyarakat memunculkan itu kembali. Yang harus dilakukan adalah proses revitalisasi. Gandong, secara faktual tak bisa dikembangkan, karena memang berdasar relasi geneolog. Tapi, Pela adalah pakta perjanjian yang dibuat dalam kurun waktu tertentu pada peristiwa tertentu yang bisa dikembangkan dan direvitalisasi kembali. Desa-desa yang berbatasan dibuatkan pakta atau perjanjian pelanyan dengan sumpah adat dan agama seperti dulunya. Prosesnya harus holistik dan tidak fragmentaris sehingga menyeret sinergi keseluruhan elemen masyarakat.

Kadang, apa yang dilakukan pemerintah, seperti pembuatan Pela Gandong, juga sangat artifisial dan tidak mendalam. Sebab, yang ikut hanya yang muda-muda. Padahal, yang tua-tua dalam masyarakat adat masih sangat didengar. Konflik kembali menstimulir apresiasi terhadap adat karena ada anggapan bahwa kita harus bertanggung jawab lantaran terjadinya pelanggaran adat yang sudah sangat parah. Dan, ini memang masih tentatif karena orang sedang mencari ratu adil dan karena itu merujuk ke sesuatu yang pernah ada di masa lalu. Namun, proses ini terjadi spontan tatkala masyarakat ingin melegitimasi kembali perjumpaannya dan ini yang harus disambut.

Proses ini harus direvitalisasi dan dikawal dengan semua strategi kebudayaan. Sebab, proses akulturasi dan bahkan asimilasi agama dan budaya saja belum selesai, terutama di lingkungan Kristen. Saya selalu bilang pada teman-teman Kristen bahwa kita harus belajar dari kaum muslim karena proses penghancuran adat-istiadat di Maluku, salah satunya, adalah karena gereja. Sejarahnya sangat politis karena basis-basis adat dianggap pusat perlawanan di era kolonial. Karena itu, gereja yang erat dengan kolonialisme dipakai untuk melemahkan semangat-semangat adat. Mazhab gereja yang masuk saat itu adalah mazhab yang puritan. Sementara, kaum muslim saat itu ada dalam proses yang stagnan dan karenanya adat lebih terpelihara.

Jadi, ada pribumisasi Islam Maluku, belum pribumisasi Kristen?
Saya melihatnya begitu walau itu tidak berarti negatif. Di tahun 1960-an, gereja pernah menggagas kontekstualisasi kekristenan, tapi tidak tuntas. Mereka membikin pesan Thomas karena merasa tidak kontekstual, tapi itu juga sangat verbalistik. Jadi, ada beban sejarah yang sangat besar dalam konflik di Maluku. Karena itu, dalam studi agama-agama tahun lalu, kita mencoba melihat semua babakan sejarah Maluku. Ada dorongan bersama untuk menulis ulang sejarah Maluku dari perspektif bersama.

Apakah dialog antaragama yang Anda gerakkan masih dalam kerangka adat?
Sebenarnya tidak melulu dalam kerangka adat. Tapi, kita memang memakai penghampiran-penghampiran yang tidak hanya sampai ke kepala untuk bisa dimengerti. Kita harus menembus ruang rasa, termasuk dalam penggunaan idiom-idiom untuk mendorong proses live-in (tinggal bersama) antaragama. Idiom bersama itu mesti ada. Kami hanya mencoba mengorek itu agar keluar.

Selama ini, sering perjumpaan-perjumpaan antaragama itu di-frame dalam bentuk yang sangat formal, mekanis, dan teknis. Sehingga kita kehilangan ruang yang dikreasi untuk perjumpaan-perjumpaan kemanusiaan yang total.

Apakah keberagamaan masyarakat Maluku cukup puritanistik dan sudah segregatif sebelum konflik?
Soal segregasi wilayah itu bukan hal baru di Maluku. Itu kerjanya Belanda sejak dulu. Untuk mengontrol daerah penjajahan, mereka membuat segregasi dan membedakan desa muslim dan desa Kristen. Jadi, dari dulu, kita tahu desa mana yang sebagian besarnya muslim dan yang mana yang Kristen. Konflik membuat itu makin terbelah. Yang menarik, karakter orang Maluku itu sangat dualistis. Di Jogja, arah mata angin itu ada empat: barat, timur, utara, dan selatan. Tapi di Maluku hanya ada dua: ke laut dan ke darat. Pascakonflik, dua istilah itu makin menunjukkan tribal group (kelompok suku). Karena muslim tinggal di pesisir, maka ungkapan "dong di laut" (mereka di laut) pasti mengacu pada muslim. Kalau "dong di darat", itu pasti Kristen.

Yang menarik, untuk kalangan internal suatu desa/masyarakat yang homogen, posisi agama sangat primer. Ia menjadi alat integrasi sosial. Kita mengenal istilah "anak negeri" dan "anak dagang". Anak dagang adalah orang dari luar yang tinggal dalam desa itu. Saya bisa tinggal puluhan tahun di desa muslim atau yang muslim tinggal di desa Kristen, tapi saya akan tetap berstatus anak dagang dan tak akan pernah terintegrasi sebagai anak negeri. Memang ada Soa atau klan yang disediakan untuk menampung orang dagang yang ada agar terintegrasi. Namun, mereka tak punya adat karena mereka beda agama. Melakukan ritual agama bagi Kristen di tempat muslim atau sebaliknya adalah persoalan yang sangat sensitif. Itu terjadi di dalam suatu desa.

Bagaimana Anda melihat pola keberagamaan orang Maluku selama ini?
Keberagamaan orang Maluku itu sangat simbolistik dan tidak fanatik. Sebab, proses internalisasi agama orang Maluku, terutama Kristen, tidak terjadi secara tuntas. Ada banyak masa peralihan kekristenan dari masa Portugis, lalu VOC, lalu ke gereja Hindia-Belanda. Dari semua proses itu, tiba-tiba orang Kristen hilang semua. Perspektif bacaan kita terhadap sejarah kekristenan adalah soal invasi. Sejarah agama-agama yang ditulis juga sangat politis. Tidak ada bacaan terhadap sejarah agama-agama di sana yang bersifat sosio-kultural. Karena itu, kita tidak tahu bagaimana proses inkulturasi terjadi; bagaimana dialektika perjumpaan; bagaimana sistim-sistem nilai saling dikomunikasikan.

Ada beberapa orang yang mencoba menulis model sinkretistik agama Kristen di Maluku. Konon, katanya, agama Kristen hanya vernis yang melekat di bagian atas struktur budaya masyarakat Maluku. Keislaman juga dianggap begitu. Di tingkat ini, menarik melihat Islam Maluku yang bersifat sangat kultural. Karena itu, kedatangan Lasykar Jihad ke Maluku membuat suasana menjadi tambah tegang. Mereka memperumit masalah karena menganggap Islam Maluku itu banyak bid’ahnya. Akibatnya, tokoh-tokoh tua di sana marah luar biasa. Islam sudah berurat berakar pada mereka. Tiba-tiba, sekelompok anak muda datang untuk mengajarkan Islam dan menganggap mereka bid’ah.

Apa saja upaya-upaya yang Anda lakukan untuk memajukan semangat toleransi beragama di Maluku selain live-in?
Kita mewacanakan persoalan multikultural, pluralisme, dll. Ini memang sangat elitis di tingkat komunitas masing-masing. Tapi, itu kita sosialisasikan ke pendeta-pendeta yang biasa berkhotbah. Tema sentral khotbah kita pada tahun 2007 ini, misalnya, pluralisme. Materinya dibuat tersentralisasi, kemudian didistribusikan. Merekalah yang lalu mengolahnya berdasar kekhasan jemaat-jemaatnya.

Selain program live-in antaragama, kita juga menggalakkan tafsir pluralis yang melibatkan dosen teologia maupun dari IAIN. Dari situ, kita membagi kelompok live-in. Ada yang tinggal di pesantren dan ada dijadwalkan untuk mengenal kegiatan-kegiatan gereja. Karena proses di bawahnya sudah dikondisikan dan jaringan sudah terbangun, maka tidak ada resistensi untuk kegiatan itu.

Bagaimana reaksi orang Maluku saat pluralisme di haramkan MUI?
Ketika pluralisme diharamkan di Jakarta, ini jadi cerita menarik. Sebelumnya, kita sering bicara pluralisme dan melakukan doa bersama. Ada program khotbah dan dakwah damai. Tiap bulan ulama-ulama pada level basis dikumpulkan, lalu kita bicara HIV/AIDS, soal kemiskinan, dan korupsi. Dan, itu kita sepakati jadi tema khotbah dan dakwah. Ketika bicara itu, ahlinya kita panggil.

Nah, ketika keluar fatwa itu, ketua MUI di sana yang justru kelimpungan. Akhirnya, dia ambil kesimpulan, "Pokoknya, yang isme itu yang haram, tapi pluralitas harus!" Mereka juga bilang, "Itu kan soal mereka di Jawa, bukan soal kita!"

Dari situ, saya melihat bahwa beberapa ulama di sana mengalami moderasi juga. Karena memang ada perubahan atmosfer: publik sudah cenderung ke arah perdamaian. Saya juga melihat, internalisasi ideologi kekerasan sebenarnya tidak terlalu parah terjadi. Hanya kelompok-kelompok kecil yang masih ada.

Ketika konflik meletus, memang tiba-tiba perempuan muslim diharuskan untuk berjilbab. Tapi, belakangan, mereka lepas lagi. Kondisi ini membuat kelompok-kelompok keras tersudut. Yang perlu diantisipasi, ketika mereka tersudut, akan muncul post-power syndrom. Sebab, ketika konflik, mereka sangat dibutuhkan. Makanya, kita tetap berupaya merangkul mereka agar tidak terlalu tersudut.

Anda optimistis perdamaian di Maluku akan langgeng?
Optimistis, ya harus. Tapi, ada isu besar yang belum selesai, yaitu reintregasi sosial. Sebab, pertama, secara faktual, kita memang sudah tersegregasi; bukan hanya by place, tapi juga by mind. Kedua, memang kontur wilayah memungkinkan terjadinya konflik lagi. Ketiga, kita tidak punya grand narasi. Kita hanya punya narasi kecil pulau-pulau. Kondisi seperti ini sangat memungkinkan konflik terpelihara secara potensial, sekalipun bukan dalam bentuk agama. Bisa jadi konfliknya berlatar belakang etnik atau subetnik, konflik sumber daya alam, dll.

Karena itu, bagi saya, apa pun program dan perencanaan yang dikembangkan untuk Maluku, harus diukur seberapa persen kebutuhan reintegrasi sosial built-in di dalamnya.
[Novriantoni dan Anick H. Tohari]

Kajian Utan Kayu dari Jawa Pos

Jumat, 15 Juni 2007,
Setelah Pintu Ijtihad Terbuka

Upaya kalangan Islam modernis pada awal abad ke-20 untuk membuka kembali pintu ijtihad yang semula dianggap tertutup bukanlah sia-sia belaka. Berkat usaha mereka yang gigih, sekarang ini pintu ijtihad telah terbuka-menganga dengan lebar sekali.

Saat ini, nyaris jarang kita temui kalangan dalam Islam yang menolak ijtihad sebagai keniscayaan. Dengan kata lain, ijtihad dipandang penting dan perlu.

Ini tentu kemajuan yang luar biasa jika kita pertimbangkan kenyataan bahwa sejak abad ke-4 hijriah, sejumlah ulama Sunni mendeklarasikan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Pandangan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup mendominasi umat Islam dalam waktu yang cukup lama, bahkan hingga paro pertama abad ke-20.

Masalahnya, setelah pintu terbuka, siapakah yang berani masuk? Apakah ada jaminan bagi orang yang berani masuk ke sana untuk mengemukakan hasil ijtihadnya dengan bebas, tanpa ada kekhawatiran akan dituduh macam-macam? Bagaimana ijtihad itu sendiri didefinisikan? Apakah ijtihad hanya sebatas pada wilayah hukum formal (fiqh) ataukah cakupannya lebih luas lagi?

Paradoks yang kita lihat saat ini adalah: setelah pintu ijtihad dengan gigih diperjuangkan untuk dibuka, banyak kalangan yang enggan masuk ke sana. Jika ada kalangan tertentu yang berani masuk, itu dilakukan dengan sikap kehati-hatian yang berlebihan sehingga yang timbul adalah "ijitihad setengah hati".

Ada kecenderungan pula untuk memagari wilayah tertentu agar tidak diterobos ijtihad dengan cara melebarkan cakupan wilayah qath’iyyat (hal-hal yang dianggap pasti dalam agama sehingga tak boleh diutak-atik lagi).

Ada pula kalangan yang berpandangan bahwa ijtihad hanya relevan dalam aspek tathb?q?. Artinya, hanya pada aspek pelaksanaan hukum Islam yang sudah ada, bukan mengutak-atik hukum itu sendiri, walau dalam kenyataan, hukum itu sudah tak lagi relevan dengan zaman.

Sementara, ada pula pandangan bahwa generasi Islam terdahulu telah meletakkan landasan yang lengkap untuk pemahaman teks-teks Islam sehingga tak ada sisa sedikit pun buat generasi belakangan untuk memberikan kontribusi (ma taraka ’l-aw?’ilu li ’l-aw?khiri shai’an). Menurut pandangan ini, generasi sekarang hanya cukup manut saja pada apa yang sudah dikatakan generasi imam-imam di masa lampau.

Yang lebih menarik ialah adanya kecurigaan yang tampaknya kian mendalam di beberapa kelompok dalam Islam terhadap peran akal dalam agama. Seolah-olah, membuka ruang yang luas bagi akal akan membahayakan agama. Pandangan ini jelas antitetikal atau berlawanan dengan semangat ijtihad yang dasarnya adalah keberanian menalar dan berpikir secara independen (meskipun tak harus serta merta meninggalkan peran wahyu).

Ada dua hal yang layak dipikirkan kembali oleh umat Islam saat ini. Pertama, tampaknya, pengertian ijtihad harus dibebaskan dari definisi konvensional yang dipahami sejumlah sarjana Islam saat ini.

Selama ini, ijtihad hanya dimengerti sebagai usaha menetapkan suatu hukum dalam kasus-kasus partikular (al-ahk?m al-juz’iyyah) berdasar dalil-dalil yang sudah ada dalam kitab suci. Ijtihad hanyalah bersifat legal, yakni ijtihad dalam masalah hukum fikih. Monopoli ijtihad oleh "kaum fekih" (meminjam istilah Bung Karno) semacam ini perlu dipertimbangkan kembali.

Dalam pandangan saya, ijtihad harus dimaknai kembali dalam konteks modern. Pengertian ijtihad yang relevan saat ini adalah hurriyyat al-ta’b?r atau kebebasan berpendapat atau berekspresi dalam pengertian yang seluas-luasnya. Aktor ijtihad bukan saja kalangan ahli ilmu fikih atau hukum Islam, tetapi semua kalangan yang memiliki kompetensi yang memadai dalam bidang masing-masing.

Saat ini, hukum bukan saja "diproduksi" oleh kalangan ahli hukum Islam. Sebagian besar hukum yang mengatur kehidupan publik kita saat ini lebih banyak dibuat di gedung DPR, bukan di ruang fatwa yang hanya dihuni para ulama. Ratusan UU dan peraturan lainnya saat ini diputuskan hampir setiap bulan di parlemen oleh para pakar yang memiliki kompetensi di bidang mereka masing-masing.

Hukum fikih tak akan pernah bisa mencakup seluruh bidang kehidupan sosial modern yang kian mengalami diferensiasi dan pencabangan yang rumit. Jadi, memang, seharusnya Islam tak semata-mata didefinisikan dari sudut pandang fikih sehingga menjadi legalistis.

Sebetulnya apa yang dikerjakan anggota parlemen itu tiada lain adalah ijtihad itu sendiri. Dengan demikian, parlemen kita saat ini adalah salah satu gelanggang ijtihad yang penting.

Diam-diam, parlemen kita saat ini juga telah melaksanakan suatu praktik "fikih politik" (fiqh al-siy?sah) baru yang layak dipikirkan oleh mereka yang masih melihat ijtihad sebagai monopoli kalangan fuqah?’ atau ahli hukum Islam.

Jika ijtihad kita maknai kembali sebagai "kebebasan berpendapat", maka aspek yang penting untuk kita pikirkan dalam diskursus soal ijtihad adalah masalah perlindungan atas hak itu. Praktik pengafiran dan pembid’ahan berlawanan dengan semangat ijtihad sebagai kebebasan berpendapat.

Dalam pengertian yang baru ini, ijtihad telah masuk dalam kategori civil right yang tak bisa dibatalkan siapa pun. Masih banyak kita saksikan sejumlah sarjana muslim yang mengalami tuduhan "macam-macam" karena mengajukan interpretasi yang berbeda mengenai isu-isu tertentu dalam agama.

Dengan kata lain, setelah pintu ijtihad dibuka, kita memerlukan perlindungan hukum yang memadai bagi mereka yang mempraktikkannya. (ulil abshar-abdalla)